Jakarta (ANTARA) - KPK belum menerima pemberitahuan adanya pencabutan gugatan praperadilan mantan direktur utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, terkait penetapan dirinya sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek PLTU Riau-1.

"Terkait dengan informasi yang berkembang tentang pencabutan praperadilan SFB (Sofyan Basir), perlu kami sampaikan bahwa KPK belum menerima pemberitahuan resmi tentang hal tersebut. Bahkan kami mendapatkan kiriman pemberitahuan bahwa SFB menunjuk kuasa hukum baru khusus untuk melakukan praperadilan," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat.

Padahal pada Jumat (24/5), pengacara Sofyan, Soesilo Aribowo, mengatakan, kliennya sudah mencabut gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

"Benar sudah kami cabut, agar fokus ke pokoknya saja," kata dia, di Jakarta, Jumat (24/5).

Sebelumnya, PN Jakarta Selatan telah menetapkan sidang perdana praperadilan Basir, Senin (20/5) dengan hakim tunggal Agus Widodo. Namun, KPK telah mengirimkan surat ke PN Jakarta Selatan untuk meminta penjadwalan ulang sidang sekitar empat minggu karena ada kebutuhan koordinasi sehingga sidang baru akan digelar pada Senin (17/6).

"Hal ini (pencabutan praperadilan) tadi juga kami konfirmasi pada SFB. Jika mengacu ke praperadilan yang sebelumnya diajukan, sesuai dengan jadwal penundaan oleh Hakim PN Jakarta Selatan, maka persidangan berikutnya akan dilakukan pada 17 Juni 2019," kata Diansyah.

Beberapa butir pengajuan praperadilan yang diajukan Basir, menurut dia, sebenarnya relatif tidak ada yang baru dan berulang kali argumentasinya sudah ditolak dalam berbagai perkara yang lain.

Keberatan itu di antaranya penetapan tersangka yang bersamaan dengan proses penyidikan, seharusnya penyidikan terlebih dahulu barulah kemudian menetapkan tersangka.

"Definisi tersangka menurut KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selain itu, penetapan tersangka baru juga dimungkinkan dilakukan dalam proses pengembangan penyidikan, penuntutan hingga persidangan," kata dia.

Penggunaan bukti-bukti lama dalam perkara Sofyan dan tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, menurut Diansyah, karena perkara yang diawali dengan OTT terhadap Eni Maulani Saragih dan Johannes Kotjo, yang kemudian berkembang menjadi penyidikan terhadap Idrus Markham hingga tersangka Sofyan adalah sebuah kesatuan perkara, maka bukti-bukti yang didapatkan dalam perkara ini memiliki keterkaitan satu dan lainnya sehingga tidak dapat dibeda-bedakan seperti dikehendaki SFB.

"Bahkan merupakan praktek yang wajar dalam sejumlah perkara ketika di putusan hakim disebutkan secara tegas bahwa sejumlah barang bukti dalam sebuah perkara digunakan untuk perkara lainnya," kata dia.