Jakarta (ANTARA) - Bioskop di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa sore (28/5) itu, masih dipadati calon-calon penonton yang hendak menikmati film favorit mereka.
Beberapa ada yang masih bingung membeli popcorn rasa manis atau asin, beberapa ada yang bercerita mengenai film terakhir yang mereka tonton bulan lalu.
"Bulan lalu, banyak film Indonesia yang bagus. Ada 'Ave Maryam', ada 'Kucumbu Tubuh Indahku', ada '27 Steps of May' juga, saingan sama 'Avengers: Endgame' lagi. Tapi, hype-nya tak kalah lho," ujar Tia, salah seorang pengunjung bioskop tersebut.
Tia, yang juga pecinta film tersebut, mengatakan kualitas film-film nasional akhir-akhir ini semakin membaik. Peningkatan kualitas itu terbukti dengan besarnya minat masyarakat untuk menonton film yang mengangkat isu sosial.
"27 Steps of May", lanjut Tia, adalah salah satu film yang berkesan baginya. Film itu, menurut Tia, mengangkat isu kejahatan seksual dan trauma psikologis secara gamblang dengan balutan visual, audio, dan akting para pemeran dengan rapi dan indah.
"Ini kan topik yang kontroversial, ya, buat dijadikan tontonan. Tapi, filmnya dikemas dengan cantik. Bisa menjadi media belajar juga untuk penonton," ujarnya yang lantas meneguk es soda.
Senada dengan Tia, Dosen Seni dan Budaya Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Tommy Awuy berpendapat serupa. Isu kontroversial yang dikaryakan sebagai film layar lebar dan dipertontonkan untuk umum, menurut Tommy, menjadi nilai plus tersendiri, terutama untuk menggugah ketertarikan masyarakat mengenai isu tersebut.
Baca juga: Festival film of the Archipelago tayangkan empat film Indonesia
Tommy lalu mencontohkan film "Kucumbu Tubuh Indahku" karya Garin Nugroho yang sempat dilarang tayang di beberapa kota. Tapi, film itu juga menjadi salah satu film Indonesia terlaris selama pertengahan April hingga Mei.
"Awalnya, film Garin ini kan dibatasi hanya sampai dua minggu. Namun karena film ini sempat menimbulkan kontroversi, masyarakat jadi penasaran dan penayangannya malah diperpanjang hingga sebulan lebih," tutur Tommy saat ditemui ANTARA di IKJ.
Tommy menilai pegiat film seperti Garin yang berani mengangkat kisah-kisah yang dekat namun masih dianggap memiliki stigma negatif mampu menambah nilai, pengetahuan, dan sudut pandang baru bagi para penontonnya, serta menjadi suara bagi mereka yang memiliki kedekatan emosional dengan isu dari film tersebut.
Film nonkomersil seperti film independen (indie) maupun film festival, lanjut Tommy, juga mampu merangsang penontonnya untuk melakukan self censorship, atau mengajak penonton melakukan proses berpikir dan memberikan batasan serta menyaring nilai atau pesan yang ingin disampaikan oleh sang pembuat film.
Idealis atau realistis
Ruangan kelas kosong IKJ yang dingin sesekali membuat kacamata yang Tommy kenakan sedikit berembun ketika ia bercerita sore itu. Berulang kali dia membetulkan bingkai kacamatanya sembari bercanda, kemudian meneruskan pendapatnya.
Ketika disinggung mengenai harapannya atas perfilman nasional, Tommy mengatakan kemajuan kualitas film Indonesia pada masa depan tidak lepas dari idealisme para sineasnya. Idealisme tersebut, lanjut Tommy, merupakan kekuatan pembuat film untuk menyampaikan nilai-nilai kepada audiensnya.
"Saya kira film-film dengan isu sosial seperti (Garin) itu dibuat oleh mereka yang idealis, sebagai sebuah bentuk pembelajaran, memberikan nilai-nilai ideal, bukan komersial. Menjadi sebuah cermin budaya maupun estetika, serta membuat kacamata perspektif lain," jelas Tommy.
Namun, salah satu tantangan bagi sineas-sineas muda yang idealis itu adalah realita yang berada di depannya. Merupakan rahasia umum bahwa produksi film memerlukan biaya yang tidak sedikit. Menurut Tommy, menjadi realistis merupakan 'kawan tapi lawan' bagi pegiat film dengan idealisme tinggi.
Baca juga: Sineas: Film Indonesia keren!
Sepakat dengan Tommy, Panji Nandiasa Mukadis, pendiri usaha rintisan (startup) yang bergerak pada bidang pemutaran alternatif dan perfilman Indonesia bernama Infoscreening.co itu berpendapat idealisme sineas dengan bisnis tentu pada akhirnya akan berkaitan.
"Dunia perfilman merupakan sesuatu yang potensial. Entah dari sisi pegiat produksi dan nonproduksi, hingga variasi film mulai dari yang eksperimental sampai komersil," katanya kepada ANTARA melalui sambungan telepon, Selasa.
Panji menambahkan, pecinta film di Indonesia membutuhkan sebuah ruang akan variasi genre yang berdampak terhadap kehidupan sosial.
Maka, Panji berpendapat dukungan terhadap pembuat film oleh pegiat-pegiat di luar produksi seperti produser eksekutif, distributor, hingga programer bioskop, akan terus menumbuhkan semangat berkarya yang tinggi, berisikan nilai ideal, dan tidak berorientasi terhadap pemikiran box office.
"Kuncinya adalah pada manusianya, dan saya optimistis sineas Indonesia mampu," ujar Panji.
Tia, Tommy, dan Panji memiliki harapan dan optimisme terhadap kemajuan dan kualitas perfilman Indonesia pada masa mendatang.
Kehadiran film-film yang membawa suara-suara dari yang tak terdengar itu diharapkan mampu menggapai perhatian publik, dan membuat khalayak umum lebih peka terhadap keadaan dan isu sosial di sekitar mereka.
Film, pada akhirnya, akan menjadi sebuah wadah aspirasi dan ruang ekspresi bagi banyak orang untuk belajar menghargai perbedaan, dan belajar menjadi manusia.
Baca juga: Ari Sihasale dan Nia konsisten angkat film Indonesia Timur
Film Indonesia kini, wadah aspirasi dan ekspresi yang berani
Oleh Dea N. Zhafira
30 Mei 2019 17:55 WIB
Calon penonton yang sedang memilih tempat duduk di salah satu bioskop di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2019). (ANTARA/Dea N. Zhafira)
Editor: Imam Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: