Lembaga pinjaman daring marak, CIPS: perlu perlindungan data pribadi
28 Mei 2019 22:14 WIB
Seorang Teller melayani nasabah yang melakukan transaksi perbankan di Bank Sinar Mas cabang pembantu di The Breez, Serpong, Tangerang, Banten, Kamis (10/1/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/ama. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyatakan, kehadiran lembaga pinjaman berbasis daring melalui teknologi finansial (tekfin) saat ini menambah urgensi terkait pentingnya perlindungan terhadap data pribadi warga.
"Kehadiran tekfin yang seharusnya bisa menjadi alternatif masyarakat dalam mengakses kebutuhan finansial justru tercemar karena adanya kasus-kasus yang mengatasnamakan atau mengakui perusahaannya sebagai perusahaan tekfin, padahal basis usaha mereka sangat erat kaitannya dengan praktik pinjaman yang menarik bunga tinggi" kata Galuh Octania, Selasa.
Menurut Galuh, kebanyakan dari pinjaman berbasis daring ini bergerak di jasa peer-to-peer lending (P2P Lending), beroperasi secara ilegal dan tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Galuh mengungkapkan, praktek pinjaman-pinjaman berbasis daring tersebut sangat rawan terhadap praktik jual beli data pribadi, selain karena mudahnya peminjam memberikan data pribadinya supaya mendapatkan pinjaman, masyarakat juga belum mendapatkan edukasi yang memadai mengenai pentingnya perlindungan atas data pribadi.
"Kondisi ini diperparah dengan munculnya cara-cara penagihan hutang yang memungkinkan perusahaan mengakses data pribadi si peminjam untuk menagih hutang lewat kerabat, teman, maupun kolega yang terdapat dalam kontak-kontak tersebut. Buntutnya, hal ini dapat berakhir pada ancaman dan kekerasan kepada si peminjam," jelasnya.
Ia menyebutkan, meski OJK sudah melarang penyelenggara pinjaman untuk mengakses kontak dan informasi pribadi peminjam, namun peraturan tersebut terbatas hanya untuk mengatur para perusahaan yang sudah terdaftar secara legal.
Faktanya, ujar dia, kebanyakan penyalahgunaan data justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak terdaftar sehingga OJK tidak mempunyai kewenangan untuk menindaklanjuti.
Untuk itu, Galuh menegaskan bahwa RUU Perlindungan Data Pribadi harus segera difinalisasi karena kemajuan dalam hal teknologi tentunya membawa dampak positif, tetapi di sisi lain juga membuka ruang lebar untuk penyalahgunaan data pribadi.
"Pengesahan RUU ini juga tidak akan efektif kalau tidak diikuti oleh adanya penegakan hukum yang konkret untuk menimbulkan efek jera dan juga menjaga ekosistem bisnis supaya kondusif. Pengesahan RUU ini juga idealnya harus melihat semua aspek yang berkaitan dengan proteksi data pribadi masyarakat," jelas Galuh.
Ia berpendapat bahwa kurangnya penegakan hukum yang jelas salah satunya di kebocoran data pinjaman berbasis daring ilegal inilah yang dapat dipertimbangkan dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Solusi terhadap permasalahan perlindungan data pinjaman online baik legal maupun ilegal dapat dijabarkan dengan ketentuan yang jelas.
Galuh juga menyatakan pentingnya untuk melakukan edukasi terhadap masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memberikan data pribadi.
Baca juga: OJK berkomitmen awasi perusahaan pinjaman daring
Baca juga: Jelang lebaran, masyarakat harus pintar manfaatkan pinjaman daring
"Kehadiran tekfin yang seharusnya bisa menjadi alternatif masyarakat dalam mengakses kebutuhan finansial justru tercemar karena adanya kasus-kasus yang mengatasnamakan atau mengakui perusahaannya sebagai perusahaan tekfin, padahal basis usaha mereka sangat erat kaitannya dengan praktik pinjaman yang menarik bunga tinggi" kata Galuh Octania, Selasa.
Menurut Galuh, kebanyakan dari pinjaman berbasis daring ini bergerak di jasa peer-to-peer lending (P2P Lending), beroperasi secara ilegal dan tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Galuh mengungkapkan, praktek pinjaman-pinjaman berbasis daring tersebut sangat rawan terhadap praktik jual beli data pribadi, selain karena mudahnya peminjam memberikan data pribadinya supaya mendapatkan pinjaman, masyarakat juga belum mendapatkan edukasi yang memadai mengenai pentingnya perlindungan atas data pribadi.
"Kondisi ini diperparah dengan munculnya cara-cara penagihan hutang yang memungkinkan perusahaan mengakses data pribadi si peminjam untuk menagih hutang lewat kerabat, teman, maupun kolega yang terdapat dalam kontak-kontak tersebut. Buntutnya, hal ini dapat berakhir pada ancaman dan kekerasan kepada si peminjam," jelasnya.
Ia menyebutkan, meski OJK sudah melarang penyelenggara pinjaman untuk mengakses kontak dan informasi pribadi peminjam, namun peraturan tersebut terbatas hanya untuk mengatur para perusahaan yang sudah terdaftar secara legal.
Faktanya, ujar dia, kebanyakan penyalahgunaan data justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak terdaftar sehingga OJK tidak mempunyai kewenangan untuk menindaklanjuti.
Untuk itu, Galuh menegaskan bahwa RUU Perlindungan Data Pribadi harus segera difinalisasi karena kemajuan dalam hal teknologi tentunya membawa dampak positif, tetapi di sisi lain juga membuka ruang lebar untuk penyalahgunaan data pribadi.
"Pengesahan RUU ini juga tidak akan efektif kalau tidak diikuti oleh adanya penegakan hukum yang konkret untuk menimbulkan efek jera dan juga menjaga ekosistem bisnis supaya kondusif. Pengesahan RUU ini juga idealnya harus melihat semua aspek yang berkaitan dengan proteksi data pribadi masyarakat," jelas Galuh.
Ia berpendapat bahwa kurangnya penegakan hukum yang jelas salah satunya di kebocoran data pinjaman berbasis daring ilegal inilah yang dapat dipertimbangkan dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Solusi terhadap permasalahan perlindungan data pinjaman online baik legal maupun ilegal dapat dijabarkan dengan ketentuan yang jelas.
Galuh juga menyatakan pentingnya untuk melakukan edukasi terhadap masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memberikan data pribadi.
Baca juga: OJK berkomitmen awasi perusahaan pinjaman daring
Baca juga: Jelang lebaran, masyarakat harus pintar manfaatkan pinjaman daring
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: