Peneliti: Moratorium pekerja migran hambat kontribusi remitansi
23 Mei 2019 21:33 WIB
Ilustrasi - Lima puluh Pekerja Migran Indonesia (PMI) termasuk Pekerja Migran Indonesia Bermasalah (PMIB) yang dipulangkan dari Yordania, tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Jumat (17/5/2019) (Dok. Kemnaker)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya menyatakan, moratorium pengiriman pekerja migran menghambat kontribusi remitansi terhadap perekonomian nasional, sehingga moratorium itu layak untuk dievaluasi.
"Remitansi yang dihasilkan para pekerja migran mampu menjalankan roda perekonomian," kata Mercyta Jorsvinna Glorya di Jakarta, Kamis.
Mercyta mengingatkan, berdasarkan data Bank Dunia, total remitansi pekerja migran Indonesia pada 2016 mencapai 8,9 miliar dolar AS atau sama dengan Rp118 triliun.
Jumlah tersebut, lanjutnya, setara dengan 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Melihat potensi ini, ia menilai pemerintah sebaiknya mengevaluasi pemberlakuan moratorium.
Hal itu, ujar dia, karena remitansi yang dikirim ke desa-desa berdampak signifikan bagi pertumbuhan inklusif dan memberikan kesempatan bagi desa tersebut untuk berkembang.
"Remitansi dari pekerja migran ini mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat pra sejahtera yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Uang remitansi digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pendidikan, wirusaha dan juga untuk biaya kesehatan," jelas Mercyta.
Menurut dia, pemberlakuan moratorium pengiriman pekerja migran ke 19 negara Timur Tengah yang diberlakukan sejak 2015 mengakibatkan kerugian besar dari sisi ekonomi.
Mercyta juga berpendapat bahwa dengan diberlakukannya kebijakan ini maka sama saja akan mendorong para calon pekerja migran untuk menempuh cara ilegal.
Hal ini dinilai akan membuat mereka rawan menjadi korban perdagangan manusia atau berbagai bentuk kejahatan lainnya.
"Rekomendasi ini tidak semata hanya memikirkan keuntungan secara ekonomi. Pemerintah juga perlu melakukan perbaikan prosedur dan sistem. Pemerintah harus membuat proses pendaftaran dan keberangkatan menjadi lebih sederhana dan mudah. Pemerintah juga harus meringankan beban ekonomi para calon pekerja migran dengan tidak menetapkan biaya yang terlalu tinggi untuk pendaftaran dan waktu pelatihan yang terlalu lama," kata Mercyta.
Hal tersebut, lanjutnya, juga akan memudahkan proses pengawasan dan monitoring selama mereka bekerja di negara tujuan dan hal ini juga turut memaksimalkan upaya perlindungan kepada mereka.
Baca juga: LSM desak pemerintah cabut moratorium pengiriman TKI ke Timteng
Baca juga: Migrant Care nilai moratorium pekerja migran perlu dicabut
Baca juga: Bambang Soesatyo tentang pekerja migran Indonesia
"Remitansi yang dihasilkan para pekerja migran mampu menjalankan roda perekonomian," kata Mercyta Jorsvinna Glorya di Jakarta, Kamis.
Mercyta mengingatkan, berdasarkan data Bank Dunia, total remitansi pekerja migran Indonesia pada 2016 mencapai 8,9 miliar dolar AS atau sama dengan Rp118 triliun.
Jumlah tersebut, lanjutnya, setara dengan 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Melihat potensi ini, ia menilai pemerintah sebaiknya mengevaluasi pemberlakuan moratorium.
Hal itu, ujar dia, karena remitansi yang dikirim ke desa-desa berdampak signifikan bagi pertumbuhan inklusif dan memberikan kesempatan bagi desa tersebut untuk berkembang.
"Remitansi dari pekerja migran ini mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat pra sejahtera yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Uang remitansi digunakan untuk konsumsi rumah tangga, pendidikan, wirusaha dan juga untuk biaya kesehatan," jelas Mercyta.
Menurut dia, pemberlakuan moratorium pengiriman pekerja migran ke 19 negara Timur Tengah yang diberlakukan sejak 2015 mengakibatkan kerugian besar dari sisi ekonomi.
Mercyta juga berpendapat bahwa dengan diberlakukannya kebijakan ini maka sama saja akan mendorong para calon pekerja migran untuk menempuh cara ilegal.
Hal ini dinilai akan membuat mereka rawan menjadi korban perdagangan manusia atau berbagai bentuk kejahatan lainnya.
"Rekomendasi ini tidak semata hanya memikirkan keuntungan secara ekonomi. Pemerintah juga perlu melakukan perbaikan prosedur dan sistem. Pemerintah harus membuat proses pendaftaran dan keberangkatan menjadi lebih sederhana dan mudah. Pemerintah juga harus meringankan beban ekonomi para calon pekerja migran dengan tidak menetapkan biaya yang terlalu tinggi untuk pendaftaran dan waktu pelatihan yang terlalu lama," kata Mercyta.
Hal tersebut, lanjutnya, juga akan memudahkan proses pengawasan dan monitoring selama mereka bekerja di negara tujuan dan hal ini juga turut memaksimalkan upaya perlindungan kepada mereka.
Baca juga: LSM desak pemerintah cabut moratorium pengiriman TKI ke Timteng
Baca juga: Migrant Care nilai moratorium pekerja migran perlu dicabut
Baca juga: Bambang Soesatyo tentang pekerja migran Indonesia
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019
Tags: