Kematian Benazir Bhutto, Bukti Kerapuhan Berdemokrasi
28 Desember 2007 17:14 WIB
Oleh Gusti N.C. Aryani
Jakarta (ANTARA News) - Satu lagi tokoh politik dari sebuah dinasti besar di Asia Selatan tewas mengenaskan di tengah konflik dan persaingan politik sengit di pengujung 2007.
Benazir Bhutto (54), mantan Perdana Menteri (PM) Pakistan 1988-1990 dan 1993-1996, pada Kamis (27/12) harus meregang nyawa setelah ditembak seseorang yang melompat ke bak mobil di belakangnya seusai melakukan pertemuan terbuka di kota yang menjadi basis pemilihnya, Rawalpindi, tempat dinas intelijen dan militer negeri itu berpangkalan.
Anak almarhum PM Pakistan terpilih pertama, Zulfikar Ali Bhutto, itu meninggal di sebuah rumah sakit di Rawalpindi satu jam setelah serangan.
Seusai menembak Benazir yang menjadi pemimpin partai oposisi, Partai Rakyat Pakistan (PPP), pelaku melakukan bunuh diri dengan meledakkan bom sehingga menimbulkan puluhan orang korban lainnya.
Hal itu adalah serangan bunuh diri kedua yang ditujukan kepada Benazir (54) sejak Oktober 2007, ketika memutuskan kembali ke Pakistan dari delapan tahun hidup di pengasingan di luar negeri. Serangan pertama menewaskan 139 orang, tetapi Benazir selamat.
Benazir kembali mencalonkan diri sebagai pemimpin pemerintahan di negeri itu melalui pemilihan umum 8 Januari 2008 tetapi sebelum rencana itu terpenuhi, ia telah menemui ajal.
Kematian Benazir menjadi anti-klimaks dari upaya Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, mewujudkan janji demokrasi di negeri itu.
Apalagi, sesaat setelah kematian Benazir beredar luas surat elektronik (electronic mail/e-mail) yang dikirim Benazir kepada temannya setelah percobaan pembunuhan yang gagal pada Oktober 2007.
Dalam "e-mail" itu, Benazir menuduh Presiden Musharraf gagal melindungi dia.
Jika celaka di Pakistan, "saya akan menganggap Musharraf bertanggung jawab", demikian tulis Benazir dalam e-mail pada Oktober 2007, yang disiarkan oleh wartawan CNN Wolf Blitzer. Blitzer menerima "email itu dari teman Benazir dan juru bicara Amerika Serikat (AS), Mark Siegel.
Benazir merinci tindakan keamanan yang dikatakannya tak diberikan kepada dirinya setelah ia kembali ke negara yang mudah bergolak tersebut.
Benazir disebutkan telah meminta pemerintah menyediakan perlindungan termasuk pengawalan empat mobil polisi dan alat penghambat bom, tetapi tak menerima semua itu.
Tuduhan keras terhadap pemerintah Pakistan memang tidak terhindarkan lagi.
Apalagi, Benazir adalah pemimpin partai oposisi terbesar yang diduga akan meraih kemenangan dalam pemilu mendatang dan diperkirakan Benazir akan kembali memimpin Pakistan, di tengah kabar perundingan pembagian kekuasaan dengan Musharraf.
Sekalipun Pemerintah Pakistan membantah semua tuduhan itu, dan mengatakan bahwa pelaku teror yang sesungguhnya memang telah menguntit Benazir, kematian Benazir tetap menjadi simbol kerapuhan demokrasi politik di negeri itu. Kematian Benazir memancing reaksi keras dari dunia.
Pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Kamis (27/12) malam, mengutuk keras pembunuhan politik wanita yang menjabat PM pada usia 35 tahun itu.
Indonesia juga prihatin atas lingkaran kekerasan politik dari berbagai penjuru yang terus berlangsung di Pakistan.
Indonesia berharap Pakistan dapat segera memulihkan situasi dan memajukan stabilitas politik dengan menempuh cara-cara yang adil dan demokratis.
Sementara itu Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menggambarkan kejadian itu sebagai kejahatan keji yang merupakan serangan terhadap kestabilan di Pakistan dan proses demokrasinya menjelang pemilihan umum.
India, sebagai tetangga Pakistan, yang khawatir kerusuhan merembes kalau kondisi Pakistan tak terkendali, bereaksi cepat.
Perdana Menteri India Manmohan Singh mengatakan pembunuhan Benazir menjadi pengingat mengenai bahaya bersama yang dihadapi oleh India dan Pakistan.
Presiden Afghanistan Hamid Karzai, yang bertemu dengan Benazir hanya beberapa jam sebelum kematiannya, menyebut pembunuhan itu sebagai aksi yang sangat brutal terhadap salah seorang perempuan terkemuka di dunia Islam.
Di Eropa, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan Benazir dibunuh oleh para pengecut yang takut pada demokrasi.
Kanselir Jerman, Angela Merkel, mencap pembunuhan itu sebagai aksi teroris pengecut yang dirancang untuk merusak kestabilan Pakistan.
Tampaknya, satu-satunya cara Presiden Musharraf mengembalikan kepercayaan dunia adalah dengan mengusut, menangkap dan menyeret pelaku pembunuhan ke pengadilan dan menjatuhi hukuman berat.
Ambang Krisis
Benazir telah meninggal, kecaman keras pada pelaku tidak akan serta merta menyelesaikan masalah.
Apalagi, kematian mendadak mantan PM yang dipecat pada 1990, terpilih kembali pada 1993, dan dipecat lagi pada 1996 di tengah tuduhan korupsi dan salah urus itu, juga mengguncang perekonomian dunia.
Tidak hanya nilai sejumlah saham AS yang turun tapi harga minyak dunia juga bergerak melampaui 97 dolar AS per barel di perdagangan Asia, Jumat (28/12).
Level tertinggi selama sebulan setelah pimpinan oposisi di Pakistan Benazir Bhutto terbunuh, kata kalangan dealer.
Sekalipun Asia Selatan bukan kawasan eksportir minyak tetapi menjadi penting dalam kerangka dampak geopolitik.
Serangan terhadap Benazir yang merupakan serangan terbuka terhadap demokrasi juga memicu krisis politik berkepanjangan di Pakistan.
"Ini adalah awal dari permasalahan politik serius di Pakistan. Dari waktu ke waktu kita lihat ada banyak ketidakadilan di negeri itu," kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia (UI) Bantarto Bandoro kepada ANTARA News.
Goncangan politik pasca kematian Benazir, katanya, akan semakin dalam terlebih negeri itu akan menggelar pemilihan parlemen.
"Tragedi ini akan berdampak pada psikologis pemilih," ujar Bantarto.
Menurut Bantarto, tewasnya Benazir, bukti dari kelalaian rezim militer di Pakistan.
"Ia telah dua kali mendapatkan ancaman pembunuhan. Ini tidak dapat lepas dari tanggung jawab rezim militer," katanya.
Selain akan menimbulkan krisis politik di Pakistan, tewasnya Benazir juga akan mempengaruhi situasi politik di Asia Selatan karena Pakistan menjadi salah satu pusat perhatian masyarakat internasional dalam memerangi terorisme.
"Tewasnya Benazir bukti bahwa aksi terorisme tidak dapat diprediksikan," katanya.
Bantarto mengatakan, kehadiran Benazir memberikan ancaman bagi kelompok perlawanan.
Kehadiran Benazir di Pakistan merupakan ancaman bagi kelompok perlawanan di sana karena bila ia tampil, demokrasi akan bangkit kembali. "Ini tidak disukai kelompok perlawanan," katanya.
Benazir menjadi sasaran ancaman dari pihak yang mengaku sebagai kelompok fanatik yang menjadikan Pakistan sebagai rumah mereka, mulai Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden hingga kelompok teror yang tumbuh subur bahkan sampai kelompok perlawanan di perbatasan Afghanistan.
Kematian tragis tokoh yang oleh Presiden Afghanistan Hamid Karzai disebut sebagai "Putri Terbesar Dunia Muslim" itu juga seakan mengingatkan dunia tidak hanya pada kesemrawutan kehidupan politik di Asia Selatan tetapi juga nasib buruk sejumlah dinasti politik besar di kawasan itu.
Tewasnya Benazir juga merupakan akhir muram bagi seorang anggota salah satu dinasti politik yang "dikutuk" di Asia Selatan.
Benazir tewas di lapangan yang sama ketika ayahnya digantung oleh rezim militer pada 1979.
Pada 1980, saudara laki-laki Benazir, Shah-nawaz dibunuh di Prancis, dan tahun 1996 adik laki-laki lain Benazir, Mir Mutaza juga menemui ajal karena dibunuh.
Dalam satu wawancara keluarga dengan majalah "Outlook" India di Dubai tahun lalu, Benazir mengharapkan tiga anaknya akan memilih jalan karir yang berbeda.
"Anak-anak saya mengatakan pada saya mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan saya. Saya mengerti ketakutan mereka. Tapi mereka adalah Bhutto dan kami harus menghadapi masa depan dengan berani, apapun itu," kata Benazir
Selain dinasti Bhutto, Asia Selatan masih mencatat sejarah kelam dinasti Gandhi di India, Bandaranaike di Srilanka atau sejumlah nama di Banglades.
Di India, setelah kematian Mohandas K. Gandhi pada 1948, PM Indira Gandhi ditembak oleh pengawalnya yang beretnis Sikh ketika ia berjalan di tamannya pada 1984, dipeluk menantunya asal Italia, Sonia ketika ia sekarat.
Tragedi itu melemparkan putranya yang sekaligus suami Sonia, Rajiv, ke politik. Ia pada gilirannya diledakkan oleh seorang pembom bunuh diri wanita dalam kampanye pemilihan 1991.
Di Srilanka, ketika itu Sailan, PM Solomon Bandaranaike dibunuh oleh seorang rahib Budha pada 1959. Istrinya, Sirimavo menggantikannya untuk menjadi perdana menteri wanita pertama di dunia.
Anak perempuannya Chandrika Kumaratunga, juga menjadi PM dan kemudian presiden. Ia harus kehilangan penglihatan di mata kanannya karena upaya pembunuhan dari kelompok pemberontak Macan Tamil pada 1999.
Di Banglades, negeri yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dua politisi penting negara itu menemui awal keras yang sama atas karir politik mereka.
Sheikh Hasina masuk politik setelah ayahnya, pemimpin kemerdekaan Sheikh Mujibur Rahman dibunuh dalam kudeta militer 1975.
Orang yang berkuasa setelah kudeta itu, Jenderal Ziaur Rahman, tewas dalam pemberontakan militer berdarah yang gagal 1981. Istrinya Begum Khaleda Zia tidak takut, melepaskan kehidupan sebagai ibu rumahtangga untuk masuk politik.
Ia menjadi PM wanita pertama negara Muslim itu pada 1991, sebelum saingan sengitnya Sheikh Hasina mengambilalih jabatan itu pada 1996. Sekarang ini keduanya ditahan oleh pemerintah yang didukung-militer dan menghadapi penuntutan karena korupsi.
Rontoknya satu persatu para penerus dinasti politik di Asia Selatan memang tidak dapat mengingkari kerapuhan demokrasi di kawasan itu.
Berbagai serangan terbuka terhadap demokrasi di kawasan itu juga menjadi bukti kelalaian para pemimpin negeri ketika di abad 21 seperti saat ini pembunuhan politik masih terus berulang.
Asia Selatan harus bangkit, meninggalkan praktek kekerasan yang menjadi kebiasaan lama demi menghindari krisis politik menahun.
Sebuah pemilihan umum yang jujur dan adil di Pakistan boleh jadi akan menjadi awal yang indah tetapi itu pun telah ternoda dengan kematian Benazir. (*)
Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007
Tags: