Benazir Bhutto, Korban Dinasti "Yang Dikutuk" di Asia Selatan
28 Desember 2007 16:09 WIB
New Delhi (ANTARA News) - Benazir Bhutto baru masuk politik setelah ayahnya dieksekusi oleh militer. Pada Kamis (27/12), ia dibunuh, dan menjadi akhir yang dapat diprediksi dengan muram bagi seorang anggota salah satu "dinasti politik yang dikutuk" di Asia selatan.
Keluarga yang sangat berpengaruh dari Bhutto di Pakistan hingga Gandhi dari India dan keluarga Bandaranaike dari Srilangka telah mendominasi politik di kawasan itu sejak merdeka dari Inggris, demikian laporan Reuters.
Namun, tidak ada yang lolos dari tragedi di tangan pemberontak, ekstrimis atau pemimpin militer yang ambisius.
Mereka adalah Zulfikar Ali Bhutto, ayah Benazir yang mendirikan dinasti yang menemui kesulitan di Pakistan. Ia menjadi Perdana Menteri (PM) Pakistan terpilh pertama, tapi digulingkan oleh tentara pada 1977, dan kemudian digantung oleh rezim militer Presiden Zia Ul Haq. Dua anak laki-lakinya pun tewas dalam keadaan misterius.
Kemudian, Benazir Bhutto yang mantan PM untuk dua kali masa jabatan sempat beruntung selamat ketika serangan bunuh diri terhadap iring-iringan mobilnya menewaskan hampir 150 orang ketika dirinya kembali ke Pakistan pada Oktober 2007, setelah delapan tahun di pengasingan.
Akhir bulan itu, ia melakukan kedatangan kembali yang emosional ke makam ayahnya di desa leluhurnya di Pakistan selatan.
"Masih ada bahaya serangan, tapi Allah dapat melindungi siapa pun, dan saya tidak takut," katanya.
Di India, PM Indira Gandhi ditembak oleh pengawal Sikh-nya ketika berjalan di tamannya pada 1984, dipeluk puteri menantu Italia-nya, Sonia, Indira sang anak kesayangan Pandit J. Nehru --PM India pertama-- sekarat.
Tragedi itu melemparkan puteranya yang sekaligus suami Sonia, Rajiv, ke politik dan ke dalam jabatannya sebagai kepala pemerintahan. Ternyata, Rajiv pun pada gilirannya diledakkan oleh seorang perempuan pembom bunuh diri dalam kampanye pemilihan 1991.
Dengan pandangan suram, si pelaku pemboman seperti ingin menulis telah "berjuang seperti harimau betina" untuk mencegah Rajiv masuk politik.
Setela Rajiv Gandhi tewas, Sonia mati-matian ingin menjauhkan diri dari politik, hanya untuk menyerah pada 1998 setelah tekanan sangat besar dari partai Kongres. Sekarang ini, ia adalah politikus paling berpengaruh di India.
"Ini bagian dari kehidupan politik, dan ibu mertua saya dan suami saya telah hidup dan mati untuk negara ini," kata Sonia dalam satu wawancara pada 2004. "Saya tidak yakin mereka ingin mati dengan cara lainnya," ujarnya.
Kawasan yang penuh sesak itu telah menghadapi serangkaian pemberontakan hebat oleh kelompok yang merasa dikecualikan oleh demokrasi. Militer sering merasa mereka dapat melakukan tugas pemerintah lebih baik ketimhang politisi.
Situasi dan kondisi seperti itulah yang agaknya membantu membuat politik menjadi jalan karir yang berisiko.
Pembunuhan itu secara ironis telah membantu menopang dinasti yang pembunuh usahakan untuk dihancurkan, yang kadang-kadang mendorong keengganan ahli waris mereka ke pusat perhatian, sekaligus memberi mereka perasaan kuat mengenai warisan yang harus dipenuhi dan gelombang simpati yang akan meningkat.
Di Srilangka, ketika masih bernama Ceylon (Sailan), PM Solomon Bandaranaike dibunuh oleh seorang rahib Budha pada 1959. Isterinya, Sirimavo Bandaranaike, menggantikan untuk menjadi perempuan PM pertama di dunia.
Anak perempuannya, Chandrika Kumaratunga, juga menjadi PM Srilangka dan kemudian presiden, menjadi kehilangan penglihatannya di mata kanannya karena upaya pembunuhan oleh yang diduga pemberontak Macan Tamil pada 1999.
Di Bangladesh, yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dua politisi penting negara itu menemui awal keras yang sama atas karir politik mereka.
Sheikh Hasina masuk politik setelah ayahnya, pemimpin kemerdekaan Sheikh Mujibur Rahman dibunuh dalam kudeta militer 1975.
Orang yang berkuasa setelah kudeta itu, Jenderal Ziaur Rahman, sendiri tewas dalam pemberontakan militer berdarah yang gagal 1981. Istrinya, Begum Khaleda Zia, tidak takut, dan melepaskan kehidupan sebagai ibu rumahtangga untuk masuk politik.
Khaleda Zia pun menjadi perempuan PM pertama negara Muslim itu pada 1991, sebelum saingan sengitnya, Sheikh Hasina, mengambilalih jabatan itu pada 1996. Sekarang ini keduanya ditahan oleh pemerintah yang didukung militer dan menghadapi penuntutan korupsi.
Sementara itu, Mohandas K. Gandhi, juga dikenal sebagai Mahatma atau jiwa besar, dibunuh pada 1948. PM pertama Pakistan, Liaguat Ali Khan, tewas dibunuh pada 1951 di Rawalpindi, kota yang sama tempat Benazir Bhutto tewas.
Dalam satu wawancara keluarga dengan majalah Outlook India di Dubai tahun lalu, Benazir mengatakan, ia mengharapkan tiga anaknya akan memilih jalan karir yang berbeda.
"Meskipun saya datang dari keluarga politik dengan perasaan tugas yang kuat untuk negara saya, saya akan menasehati mereka dengan keras untuk menjauhkan diri dari politik, untuk mengabdi pada negara melalui cara lainnya. Sebagai dokter, pekerja sosial, atau apa saja," ujarnya.
"Anak-anak saya mengatakan pada saya, mereka sangat mengkhawatirkan keselamatan saya. Saya mengerti ketakutan mereka. Tapi, mereka adalah Bhutto, dan kami harus menghadapi masa depan dengan berani, apa pun itu," kata Benazir Bhutto kala itu. (*)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007
Tags: