Rajab Ritonga Raih Gelar Doktor Ilmu Komunikasi
28 Desember 2007 07:00 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Direktur SDM dan Umum Perum LKBN Antara, Rajab Ritonga meraih gelar doktor ilmu komunikasi dari FISIP Universitas Indonesia dan menjadi satu-satunya ahli masalah kantor-berita di negeri ini.
Pengukuhan gelar doktor wartawan senior itu akan dilangsungkan di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jumat, pukul 14.00 WIB, dengan promotor Prof. Dr. Bachtiar Aly, M.A dan ko-promotor : Prof. Sasa Djuarsa Sendjaja, Ph.D
Rajab Ritonga, yang lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 30 Desember 1958, itu menulis disertasi berjudul "Reposisi Ekonomi Politik Kantor Berita di Era Konvergensi Media (Studi Komodifikasi Informasi di Newsroom Kantor Berita Nasional dan Kantor Berita Internasional".
Ahli masalah kantor berita tergolong langka bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sampai saat ini, pakar komunikasi yang mendalami kantor berita bisa dihitung dengan jari. Yang terkenal di dunia adalah Prof. Oliver Boyd-Barrett dari Bowling State University, Amerika Serikat.
"Saya beruntung bisa bertemu dan berdiskusi dengan Professor Boyd-Barret sehingga memperkaya disertasi saya," kata Rajab yang juga Lektor pada Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta.
Prof. Boyd-Barrett khusus datang ke Jakarta pada pertengahan Desember 2007 atas undangan khusus LKBN Antara yang menjadi tuan rumah Sidang Majelis Umum Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA). Ia menjadi pembicara utama pada seminar "Kantor Berita di Era Konvergensi Multimedia".
Rajab mengatakan pemilihan topik kantor berita untuk disertasinya bukan saja karena dia bekerja di Kantor Berita Nasional Antara, melainkan juga karena posisi kantor berita di era multimedia sekarang ini sangat krusial.
Apakah kantor berita bisa terus hidup dan survive atau mati punah seiring dengan berkembangnya internet yang membuat informasi bisa diakses secara gratis dan cepat.
"Kalau orang bisa dapat informasi secara gratis di internet, mengapa harus bayar langganan ke kantor berita," tanya Rajab yang pernah malang melintang menjadi wartawan di Istana Kepresidenan itu.
Menurut Rajab, penulisan disertasinya bertujuan untuk mengetahui proses komodifikasi informasi di newsroom kantor berita sebagai suatu bentuk reposisi ekonomi politik kantor berita di era konvergensi saat ini.
Reposisi ekonomi politik, katanya, menjadi keharusan karena kondisi kantor berita nasional saat ini berada di ambang kebangkrutan sebagai efek dari maraknya penggunaan internet, sementara dari sisi pemberitaan kantor berita nasional juga tidak berdaya mengimbangi dominasi kantor berita internasional.
Kantor berita nasional yang dijadikan subjek penelitiannya adalah kantor berita dari Indonesia (Antara). Sebagai pembanding dilihat juga dinamika yang berlangsung di kantor berita nasional Malaysia (Bernama) dan kantor berita internasional dari Inggris (Reuters), Amerika Serikat (AP), dan Perancis (AFP).
Kesimpulan penelitian Rajab menyatakan bahwa kantor berita nasional harus melakukan reposisi agar mampu menghasilkan suatu informasi yang bersifat langka (scarcity).
Reposisi tersebut dilakukan dengan mengadakan kerja sama pertukaran berita, berbagi materi berita dengan kantor berita lainnya, menciptakan reporter super dan menyediakan peralatan canggih bagi reporter untuk mendukung komodifikasi informasi yang diharapkan.
"Kantor berita saat ini juga mereposisi orientasi bisnisnya dari semula wholesaler, agen informasi untuk media massa, juga menjadi retailer, mengunjungi publik melalui website maupun peralatan konvergensi media lainnya," kata suami dari Dra. Hj. Lely Indratni, Apt dan ayah dari Adriano Anetho Ritonga itu.
Salah satu implikasi menarik dari temuan dalam penelitian ini adalah keberadaan kantor berita nasional yang seolah-olah berada di simpang jalan untuk memilih antara kepentingan politik atau kepentingan ekonomi.
Dari gambaran reposisi struktur ekonomi-politik yang dilakukan kantor berita nasional semacam Antara, menurut Rajab, sebenarnya sudah menjawab arah dominan yang akan dituju kantor berita nasional dalam era teknologi komunikasi berbasis komputer-internet sekarang ini.
Kepentingan ekonomi tampaknya bakal mengalahkan kepentingan politik di balik eksistensi kantor berita nasional. Nostalgia historis pemunculan kantor berita nasional yang sarat dengan nasionalisme bakal tergerus dengan kepentingan ekonomi, demikian Rajab Ritonga. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007
Tags: