Palembang (ANTARA) - Warga Kota Palembang merasa resah karena Pemkot Palembang menerbitkan Keputusan Wali Kota Nomor 17 tahun 2019 mengenai Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang mengharuskan wajib pajak membayar dengan kenaikan hingga 300 persen.
Salah seorang warga Ilir Barat I Palembang, Muhammad Fathoni mengaku terkejut karena ia harus membayar PBB hingga tiga kali lipat alias 300 persen dari sebelumnya.
"Sebelumnya saya hanya dikenakan iuran PBB sebesar Rp293.000, tapi tahun ini saya harus membayar PBB hingga Rp894 ribu, saya sebagai warga sangat terkejut karena tidak pernah ada sosialisasi sebelumnya, apalagi sekarang kebutuhan sedang naik-naiknya jelang lebaran," kata Muhammad Fathoni.
Terkait hal itu, media sosial lokal Kota Palembang terus membicarakan kenaikan PBB tersebut selama sepekan terakhir. Rata-rata warga mengeluhkan kenaikan yang tinggi itu.
Wali Kota Palembang Harnojoyo menjawab keresahan warganya dengan menolak istilah kenaikan PBB, karena tidak semua orang diwajibkan membayarnya.
"Istilah sebenarnya bukan naik tapi menyesuaikan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang memang naik karena penyesuaian di lapangan dan sudah sepantasnya, perlu diperhatikan juga bahwa Pemkot menggratiskan untuk batas tarif PBB Rp300.000 ke bawah," ujar Harnojoyo.
Ditambahkan oleh Kepala Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Shinta Raharja, kenaikan PBB dinilai layak karena pemkot telah mengkajinya cukup lama sebelum menaikkannya, dimana kenaikan terakhir kali dilakukan lima tahun lalu.
Ia menyebut kenaikan PBB hanya diberlakukan kepada 166.536 objek pajak yang berada di zona bisnis dan komplek elite dengan potensi Rp464 miliar, sedangkan 263.709 wajib pajak sisanya dibebaskan dari beban pembayaran, padahal nilainya mencapai Rp31 miliar.
Kenaikan PBB, kata Shinta, sebagai tindak lanjut arahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI beberapa waktu lalu agar ada kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Palembang, khususnya sektor pajak yang dari sebelumnya menargetkan Rp748 miliar menjadi Rp1,3 triliun.
"Kami sudah mensosialisasikan tarif baru PBB melalui para ketua RT di semua kelurahan, jadi kami meminta semua pihak dapat berfikir jernih karena semua dana PBB diperuntukkan bagi kemaslahatan masyarakat," klaim Shinta.
Mengadu ke Ombudsman
Sebagian warga bisa menerima penjelasan tersebut, namun sebagian merasa kurang puas dan justru mengadu ke Ombudsman Sumsel sebagai lembaga resmi yang mengontrol pelayanan publik.
Kepala Ombudsman Perwakilan Sumsel, M.Andrian, mengatakan sejak Perwali tersebut keluar, banyak warga melaporkan kenaikan PBB, meski tidak satupun warga membuat laporan resmi. Namun Ombudsman tetap membuat laporan inisiatif dan memanggil Pemkot Palembang.
M. Andrian menerangkan, Pemkot Palembang cukup kooperatif menjawab semua pertanyaan secara jelas terutama mengenai prosedur dan sosialisasi perubahan tarif PBB, tetapi Ombudsman berkesimpulan harus memeriksa aturan tersebut.
"Kami akan membentuk tim untuk menyelidiki berbagai hal terkait aturan perubahan tarif PBB terbaru ini, tim segera meminta keterangan lebih lanjut kepada pejabat terkait dan pendapat para ahli mengenai kenaikan PBB, setelah itu kami keluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebelum lebaran," jelas M.Andrian usai pertemuan dengan pemkot.
Ombudsman Sumsel melihat benang merah persoalan PBB ada pada prosedural keluarnya Perwali. Ditinjau dari sisi hukum memang tidak menyalahi aturan, tetapi ada indikasi Pemkot tidak rutin memperbarui NJOP sejak 2008.
Hal tersebut dibenarkan Kabid Pajak Bumi dan Bangunan Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Khairul Anwar
Khairul menyebut kenaikan tagihan pajak terimplikasi dari naiknya NJOP untuk menyesuaikan harga pasaran tanah wajar di Kota Palembang yang memang tidak pernah disesuaikan selama 2008 - 2014, akibatnya, sejak 2016 Pemkot harus menghitung lagi mengenai NJOP terbaru dan menyesuaikannya dengan pajak.
"Jika pembaharuan NJOP dilakukan rutin dua atau tiga tahun sekali, maka kenaikan PBB juga akan bertahap, kami melihat Pemkot tidak melakukan itu sehingga saat diperbaharui kali ini menjadi tinggi sekali, masyarakat jadi syok mendengarnya," kata dia.
Untuk itu Ombudsman akan memeriksa apakah terdapat unsur mal-administrasi dalam aturan tersebut secara keseluruhan, tak hanya Perwali saja.
Jika memang ditemukan, maka dalam LHP Ombudsman akan memberikan saran korektif, saran itu wajib dilaksanakan Pemkot Palembang. Jika tidak maka Harnojoyo selaku Wali Kota Palembang dapat diberhentikan sementara oleh Kemendagri.
Direvisi
Setali tiga uang, kalangan pengamat ikut angkat bicara mengenai Perwali nomor 17 tahun 2019. Sebagian besar berpandangan aturan tersebut perlu direvisi karena ada ketidakberesan.
Pengamat Hukum Universitas Sriwijaya Dr. Febrian, mengatakan kebijakan tarif PBB bisa direvisi karena terindikasi kelalaian, seyogyanya pembaharuan tarif PBB dilaksanakan tiga tahun sekali, namun Pemkot Palembang tidak memperbarui sampai waktu yang cukup lama.
"Sosialisasi yang diklaim Pemkot Palembang sudah sampai ke masyarakat juga nampak belum berdampak luas, karena aturan tersebut ternyata masih mengejutkan masyarakat, tiba-tiba saja keluar," ujarnya.
Menurut dia, revisi kenaikan tarif PBB dilakukan bukan untuk melawan ketentuan hukum, tapi melihat dinamika masyarakat yang dianggapnya banyak keberatan dirasa lebih penting, sebelum pengajuan keberatan dari masyarakat semakin banyak.
"Bisa saja semua mengajukan keberatan karena ada legalitasnya, namun tentu saja respon Pemkot Palembang lebih ditunggu oleh masyarakat, oleh karena itu revisi bisa dilakukan dengan kajian ulang," ujar Febrian.
Selain itu ia mempertanyakan apakah saat merancang Perwali, Pemkot melibatkan DPRD Palembang atau tidak, sebab nyatanya anggota DPRD pun terkejut ketika Perwali itu dikeluarkan.
Inspektur Kota Gusmah Yuzar menegaskan kebijakan pajak disusun dengan melibatkan Badan Anggaran DPRD Kota Palembang sesuai perundang-undangan.
Pemkot Palembang berkomitmen menjalankan perintah Undang-Undang nomor 12 tahun 1994 tentang kewenangannya pada Kementerian Keuangan untuk menetapkan besaran tarif PBB, katanya.
“Setelah keluarnya UU nomor 32 tahun 2004 kewenangan itu dilimpahkan ke Pemda lalu keluarlah UU nomor 28 tahun 2009 tentang pengelolaan PBB perkotaan diserahkan ke wali kota. Berdasarkan itu kami mencoba sesuaikan dengan menerbitkan Perda nomor 3 tahun 2011 dan terakhir untuk menyempurnakan terbitlah Perda nomor 2 tahun 2018 yang mengharuskan setiap 3 tahun sekali diperbarui NJOP,” ujar Gusmah.
Agak sedikit berbeda, Ketua DPRD Kota Palembang Darmawan membenarkan bahwa perda mengenai pajak dibahas bersama legislator, tetapi hanya membahas yang bersifat umum dan tidak ada persetujuan menaikkan PBB sampai 300 persen.
"Rapat pada waktu itu bersama Badan Anggaran menyetujui bahwa memang harus ada kenaikan PAD Kota Palembang sebesar Rp550 miliar menjadi Rp1,3 triliun yang dihimpun dari pajak hotel, restoran dan tempat hiburan," jelas Darmawan.
Darmawan bahkan menyesalkan dan menyebut Perwali PBB Kota Palembang sangat emosional serta tidak rasional, ia mengaku keberatan sehingga akan melayangkan permintaan tinjau ulang kepada Pemkot.
"Hampir semua kalangan pengusaha, aktifis, ormas, organisasi mahasiswa, dan elemen masyarakat sudah mengadu ke DPRD, maka sudah sepatutnya kami selaku wakil rakyat meneruskan aspirasi ini ke Pemkot Palembang agar merevisi kembali kebijakan PBB," lanjut Dermawan.
Menanggapi kemungkinan direvisi, Gusmah Yuzar menyatakan untuk sementara pemerintah kota Palembang masih pada posisi tetap menyesuaikan penerapan PBB.
“Masalah ini akan kami kaji ulang bersama Wali Kota Palembang, bagi masyarakat jika memang keberatan ada Perwali Nomor 51 tahun 2013, sehingga dapat mengajukan form keberatan, itu bisa mengurangi biaya sampai 75 persen dan semuanya bisa mengajukan," kata Gusmah.
Selain itu ia mengingatkan jika Perwali direvisi, maka dampaknya lumayan banyak, termasuk ikut mengubah APBD Kota Palembang yang berkemungkinan pemangkasan proyek-proyek strategis.
Hal yang juga menjadi sorotan dari permasalahan PBB Palembang yakni adanya subsidi silang pembayaran, sebagian wajib pajak membayar dengan tarif tinggi namun sebagian lagi digratiskan, alasannya demi menyesuaikan dengan kemampuan masyarakat.
Pengamat Sosial Kota Palembang, Bagindo Togar, mengatakan pembayaran PBB harus dilakukan seluruh warga negara, tidak perlu ada penggratisan agar semuanya merasa ikut membangun.
"Tidak perlu gratis, cukup diklasifikasikan saja dengan adil dan merata, jika gratis maka mereka bisa disebut tidak ikut membangun Kota Palembang, pada dasarnya semua masyarakat mampu bayar pajak, asal jangan galak-galak nilainya," tegas Bagindo.
Gratis bayar PBB, katanya, hanya akan membuat gradasi miskin dan kaya semakin melebar, yang imbasnya dapat merepotkan masyarakat saat berurusan administratif. Karena itu Ia mendukung ide merevisi Perwali tersebut.
Tampaknya semua masyarakat memang harus ikut andil dalam pembangunan yang artinya ikut membayar pajak meski nilainya kecil, sementara kenaikan pajak berlipat-lipat meskipun dengan alasan subsidi silang seharusnya tidak terjadi.
Baca juga: Pemkot Palembang didemo karena naikkan PBB
Baca juga: Pj Wali Kota Makassar kaji perubahan NJOP ke ZNT
Artikel
Polemik kenaikan pajak bumi bangunan Palembang 300 persen
Oleh Aziz Munajar
22 Mei 2019 11:59 WIB
Proyek pembangunan Jembatan Musi VI Palembang Sumatera Selatan memerlukan dana besar yang dihimpun dari pajak. (ANTARA FOTO/FENY SELLY)
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Tags: