Jakarta (ANTARA) - Aktivis lingkungan mendesak pabrik ponsel menjalankan program daur ulang, menggunakan ulang komponen dan bagian dari produk mereka yang sudah rusak untuk mengurangi limbah elektronik.

"Kita menyerukan pabrikan ponsel untuk melakukan model produksi melingkar, yang salah satunya mengisyaratkan penggunaan ulang komponen dan bagian-bagiannya untuk menjadi sesuatu yang baru," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi kepada Antara di Jakarta, Senin (20/5).

Atha mengatakan pabrikan bisa semakin sedikit menggunakan material baru dengan menerapkan model produksi yang semacam itu.

Menurut penelitian yang dilakukan Greenpeace tahun 2017, di dunia setiap dua dari tiga orang dengan rentang usia 18-35 tahun mempunyai telepon pintar.

"Dalam jangka 10 tahun, lebih dari tujuh miliar smartphone diproduksi. Dari data tersebut bisa dibayangkan berapa jumlah ponsel yang telah menjadi limbah," kata Atha.

Namun, menurut Atha, belum banyak perusahaan dan masyarakat yang menyadari bahaya limbah elektronik.

"Perusahaan pun seharusnya bertanggung jawab akan limbahnya sesuai dengan peraturan yang berlaku," kata Atha.

Menurut laporan Greenpeace, kurang dari 16 persen limbah elektronik global pada 2014 didaur ulang di sektor formal dan berpotensi besar membahayakan kesehatan masyarakat.

"Sebagian besar kemungkinan berakhir di tempat pembuangan akhir atau insinerator, atau malahan diekspor ke tempat-tempat di mana proses daur ulang dengan teknik sederhana yang membahayakan kesehatan masyarakat lokal terjadi," ujar Atha.

Aktivis organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi mengatakan sampah elektronik meliputi kira-kira 0,5 persen dari timbulan sampah, namun pengolahannya cukup sulit.

"Masalahnya sekarang adalah pengolahannya yang sulit dan toxic (beracun). Ada logam berat dan PCB yang bisa mengganggu hormon, alergi, cacat pada anak dan bayi," kata Manager Kampanye Perkotaan Walhi, Dwi Sawung.

Menurut laporan pemantauan limbah elektronik regional Asia Tenggara dan Timur yang dipublikasikan United Nations University, organ otonom Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, limbah elektronik Indonesia pada 2015 sebanyak 812 kiloton, paling tinggi jika dibandingkan dengan limbah elektronik negara Asia Tenggara yang lain.

Laporan yang ditulis oleh Shunichi Honda, Deepali Sinha Khetriwal dan Ruediger Kuehr itu juga menunjukkan bahwa limbah elektronik Indonesia tumbuh 68,1 persen antara 2010 dan 2015.

Kendati demikian, menurut Atha, Indonesia hanya memiliki aturan induk berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, belum punya aturan pelaksanaan untuk mengatur sistem pengelolaan sampah elektronik.

Baca juga:
Warga DKI diajak kumpulkan sampah elektronik
Tempat pembuangan limbah elektronik masih sulit ditemukan di Jakarta