DPP Gebrak RI laporkan kasus dugaan korupsi ke Kejari Purwokerto
20 Mei 2019 15:08 WIB
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Bersama Rakyat Anti Korupsi Republik Indonesia (DPP Gebrak RI) Setya Adri Wibowo (kiri) saat melaporkan kasus dugaan korupsi kepada Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Purwokerto Suryadi (kanan), di Kantor Kejari Purwokerto, Senin (20/5/2019). (Foto: ANTARA/Sumarwoto)
Purwokerto (ANTARA) - Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Bersama Rakyat Anti Korupsi Republik Indonesia (DPP Gebrak RI) melaporkan kasus dugaan korupsi kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Kasus dugaan korupsi tersebut secara resmi dilaporkan oleh Ketua Umum Gebrak RI Setya Adri Wibowo dan diterima oleh Kepala Seksi Intelijen Kejari Purwokerto Suryadi, di Kejari Purwokerto, Senin.
Saat ditemui wartawan, Ketua Umum DPP Gebrak RI Setya Adri Wibowo mengatakan kasus dugaan korupsi tersebut diduga dilakukan oleh oknum anggota DPRD Kabupaten Banyumas.
"Awalnya kami mendapatkan informasi dan keluhan bahwa ada praktik-praktik tidak sehat yang dilakukan oleh oknum. Kebetulan ada salah satu (anggota DPRD Kabupaten Banyumas) yang menjadi korban," katanya pula.
Setelah diidentifikasi, kata dia, informasi maupun keluhan tersebut ternyata sesuai dan secara kebetulan juga ada temuan saat pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia mengatakan berdasarkan informasi dan temuan BPK tersebut, pihaknya berdiskusi, mengolah, dan menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oknum anggota DPRD Kabupaten Banyumas itu berpotensi merugikan keuangan negara.
"Ada fasilitas dari negara ketika anggota parlemen itu melaksanakan kunjungan kerja, itu kan mendapatkan fasilitas penginapan dan sebagainya. Fasilitas ini biasanya (digunakan) bekerja sama dengan biro perjalanan secara profesional," katanya lagi.
Akan tetapi dalam praktiknya, kata dia, oknum anggota legislatif itu mengelola fasilitas tersebut secara personal.
Bahkan berdasarkan informasi, lanjut dia, setiap kali oknum tersebut mengikuti kunjungan kerja, pengelolaan fasilitas anggaran dilakukan sendiri tanpa melibatkan biro jasa atau biro perjalanan.
"Kenapa kita bicara tentang kerugian negara. Karena ketika bicara tentang klaim yang sesuai dengan LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) itu ada selisih pembayaran ke hotel dengan laporan pertanggungjawaban keuangan itu," ujarnya pula.
Dia menduga adanya penggelembungan (mark up) fasilitas anggaran kunjungan kerja yang dilakukan oknum anggota legislatif tersebut.
Karena itu, kata dia, pihaknya menyerahkan laporan dugaan korupsi tersebut kepada penegak hukum agar dilakukan penyelidikan dan segera mengungkap kasus tersebut.
"Kebetulan yang menjadi temuan ini kunjungan kerja pansus (panitia khusus) pariwisata ke Jakarta dan menginap di Hotel Haris pada tanggal 19-21 Februari 2018," kata pria yang akrab disapa Bowo itu.
Ia mengatakan dalam LPJ disebutkan bahwa fasilitas menginap bagi anggota legislatif sebesar Rp2.100.000 per orang, namun yang dibayarkan hanya Rp1.800.000 per orang sehingga ada selisih.
Padahal, kata dia, pihaknya mendapat informasi jika hal itu tidak hanya dilakukan satu kali oleh oknum anggota legislatif tersebut.
Dia mengaku yakin jika kasus dugaan korupsi tersebut diungkap, angka kerugian negaranya cukup fantastis.
"BPK juga menemukan itu, tapi BPK kan tidak melakukan tindakan, dalam arti terkait dengan penegakan hukumnya. Kalau penegakan hukumnya di kejaksaaan dan kepolisian," katanya.
Bowo mengatakan berdasarkan informasi yang diterima Gebrak RI, selisih anggaran kunjungan kerja yang menjadi temuan BPK tersebut telah dikembalikan kepada negara.
Akan tetapi, kata dia, masih ada beberapa dugaan penggelembungan anggaran kunjungan kerja lainnya yang belum menjadi temuan dan diduga sering dilakukan selama periode 2014-2019, sehingga perlu diusut oleh Kejari Purwokerto.
"Menariknya ketika anggota legislatif lainnya yang ikut kunja (kunjungan kerja) bersama oknum tersebut diminta untuk mengembalikan uangnya (sisa anggaran kunja, red.), mereka justru kebingungan karena tidak tahu kalau ada selisih," katanya.
Lebih lanjut, Bowo mengatakan laporan ke Kejari Purwokerto tersebut disampaikan demi perbaikan kinerja anggota DPRD Kabupaten Banyumas, apalagi baru pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 sehingga bakal banyak wajah baru di legislatif.
Menurut dia, laporan tersebut juga menjadi peringatan atau pesan moral bagi anggota DPRD Kabupaten Banyumas periode 2019-2024 agar makin berhati-hati dan tidak berpikir mencari sampingan yang inkonstitusional.
"Informasinya, oknum tersebut kembali terpilih pada Pemilu Serentak 2019, sehingga masih berpeluang untuk melakukan lagi. Kami melaporkannya karena kami khawatir hasil penyalahgunaan kewenangan itu kemudian digunakan untuk proses pesta demokrasi ini," ujarnya pula.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Purwokerto Suryadi mengatakan setelah menerima laporan tersebut, pihaknya secara prosedural akan langsung menyerahkannya ke Kepala Kejari Purwokerto untuk ditentukan langkah selanjutnya.
"Biasanya akan diterbitkan 'SPrin' (Surat Perintah) untuk menindaklanjuti laporan," katanya lagi.
Pihaknya memiliki waktu selama tujuh hari untuk mengumpulkan data dan bahan keterangan. Jika hingga batas waktu tersebut belum selesai, pihaknya bisa meminta perpanjangan waktu kepada Kepala Kejari Purwokerto.
Kasus dugaan korupsi tersebut secara resmi dilaporkan oleh Ketua Umum Gebrak RI Setya Adri Wibowo dan diterima oleh Kepala Seksi Intelijen Kejari Purwokerto Suryadi, di Kejari Purwokerto, Senin.
Saat ditemui wartawan, Ketua Umum DPP Gebrak RI Setya Adri Wibowo mengatakan kasus dugaan korupsi tersebut diduga dilakukan oleh oknum anggota DPRD Kabupaten Banyumas.
"Awalnya kami mendapatkan informasi dan keluhan bahwa ada praktik-praktik tidak sehat yang dilakukan oleh oknum. Kebetulan ada salah satu (anggota DPRD Kabupaten Banyumas) yang menjadi korban," katanya pula.
Setelah diidentifikasi, kata dia, informasi maupun keluhan tersebut ternyata sesuai dan secara kebetulan juga ada temuan saat pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ia mengatakan berdasarkan informasi dan temuan BPK tersebut, pihaknya berdiskusi, mengolah, dan menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oknum anggota DPRD Kabupaten Banyumas itu berpotensi merugikan keuangan negara.
"Ada fasilitas dari negara ketika anggota parlemen itu melaksanakan kunjungan kerja, itu kan mendapatkan fasilitas penginapan dan sebagainya. Fasilitas ini biasanya (digunakan) bekerja sama dengan biro perjalanan secara profesional," katanya lagi.
Akan tetapi dalam praktiknya, kata dia, oknum anggota legislatif itu mengelola fasilitas tersebut secara personal.
Bahkan berdasarkan informasi, lanjut dia, setiap kali oknum tersebut mengikuti kunjungan kerja, pengelolaan fasilitas anggaran dilakukan sendiri tanpa melibatkan biro jasa atau biro perjalanan.
"Kenapa kita bicara tentang kerugian negara. Karena ketika bicara tentang klaim yang sesuai dengan LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) itu ada selisih pembayaran ke hotel dengan laporan pertanggungjawaban keuangan itu," ujarnya pula.
Dia menduga adanya penggelembungan (mark up) fasilitas anggaran kunjungan kerja yang dilakukan oknum anggota legislatif tersebut.
Karena itu, kata dia, pihaknya menyerahkan laporan dugaan korupsi tersebut kepada penegak hukum agar dilakukan penyelidikan dan segera mengungkap kasus tersebut.
"Kebetulan yang menjadi temuan ini kunjungan kerja pansus (panitia khusus) pariwisata ke Jakarta dan menginap di Hotel Haris pada tanggal 19-21 Februari 2018," kata pria yang akrab disapa Bowo itu.
Ia mengatakan dalam LPJ disebutkan bahwa fasilitas menginap bagi anggota legislatif sebesar Rp2.100.000 per orang, namun yang dibayarkan hanya Rp1.800.000 per orang sehingga ada selisih.
Padahal, kata dia, pihaknya mendapat informasi jika hal itu tidak hanya dilakukan satu kali oleh oknum anggota legislatif tersebut.
Dia mengaku yakin jika kasus dugaan korupsi tersebut diungkap, angka kerugian negaranya cukup fantastis.
"BPK juga menemukan itu, tapi BPK kan tidak melakukan tindakan, dalam arti terkait dengan penegakan hukumnya. Kalau penegakan hukumnya di kejaksaaan dan kepolisian," katanya.
Bowo mengatakan berdasarkan informasi yang diterima Gebrak RI, selisih anggaran kunjungan kerja yang menjadi temuan BPK tersebut telah dikembalikan kepada negara.
Akan tetapi, kata dia, masih ada beberapa dugaan penggelembungan anggaran kunjungan kerja lainnya yang belum menjadi temuan dan diduga sering dilakukan selama periode 2014-2019, sehingga perlu diusut oleh Kejari Purwokerto.
"Menariknya ketika anggota legislatif lainnya yang ikut kunja (kunjungan kerja) bersama oknum tersebut diminta untuk mengembalikan uangnya (sisa anggaran kunja, red.), mereka justru kebingungan karena tidak tahu kalau ada selisih," katanya.
Lebih lanjut, Bowo mengatakan laporan ke Kejari Purwokerto tersebut disampaikan demi perbaikan kinerja anggota DPRD Kabupaten Banyumas, apalagi baru pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 sehingga bakal banyak wajah baru di legislatif.
Menurut dia, laporan tersebut juga menjadi peringatan atau pesan moral bagi anggota DPRD Kabupaten Banyumas periode 2019-2024 agar makin berhati-hati dan tidak berpikir mencari sampingan yang inkonstitusional.
"Informasinya, oknum tersebut kembali terpilih pada Pemilu Serentak 2019, sehingga masih berpeluang untuk melakukan lagi. Kami melaporkannya karena kami khawatir hasil penyalahgunaan kewenangan itu kemudian digunakan untuk proses pesta demokrasi ini," ujarnya pula.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Purwokerto Suryadi mengatakan setelah menerima laporan tersebut, pihaknya secara prosedural akan langsung menyerahkannya ke Kepala Kejari Purwokerto untuk ditentukan langkah selanjutnya.
"Biasanya akan diterbitkan 'SPrin' (Surat Perintah) untuk menindaklanjuti laporan," katanya lagi.
Pihaknya memiliki waktu selama tujuh hari untuk mengumpulkan data dan bahan keterangan. Jika hingga batas waktu tersebut belum selesai, pihaknya bisa meminta perpanjangan waktu kepada Kepala Kejari Purwokerto.
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019
Tags: