Jakarta (ANTARA) - Pengamat perpajakan yang juga Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai seruan boikot membayar pajak dan tidak perlu mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019, merupakan hal konyol dan berbahaya.
"Boikot pajak tidak saja buruk secara moral tetapi juga merugikan kepentingan nasional, terutama merugikan sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini menikmati layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, subsidi, dana desa, dan lainnya. Belum lagi belanja infrastruktur, pertahanan, keamanan, birokrasi, dan lain-lain. Dengan kata lain, ajakan memboikot pajak adalah ajakan memperburuk keadaan yang merugikan rakyat Indonesia," ujar Yustinus dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Minggu.
Menurut literatur dan praktik terbaik, pembangkangan sipil (civil disobedience) termasuk di dalamnya tidak membayar pajak, hanya sah secara moral jika pemerintah yang memungut pajak berperilaku korup, melanggar HAM, otoriter, dan tidak akuntabel. Ciri corak demikian dengan amat mudah dikenali tidak terdapat pada rezim pemerintahan pasca Orde Baru.
Dari perspektif kepatuhan pajak, lanjut Yustinus, saat ini kondisi kepatuhan pajak di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Masih terdapat banyak orang yang seharusnya membayar pajak, namun tidak membayar pajak sebagaimana mestinya. Tingkat penghindaran pajak pun masih tinggi.
"Dalam situasi seperti ini, ajakan memboikot pajak berarti memberi pembenaran pada perilaku mengemplang pajak dan sangat rawan ditunggangi para pengemplang pajak yang selama ini memang enggan membayar pajak. Artinya, ajakan memboikot bayar pajak ini tak lain kolaborasi hitam yang melebihi ajakan makar karena mengeroposkan fondasi negara dan menghancurkan modal sosial yang penting untuk keberlanjutan pembangunan," kata Yustinus.
Dengan demikian, ia menilai ajakan atau seruan yang tidak bertanggung jawab tersebut sudah selayaknya tak ditanggapi dan dianggap lelucon saja. Selain tidak mendidik dan tak memiliki legitimasi moral, juga destruktif terhadap upaya pencapaian tujuan bernegara.
"Tidak membayar pajak padahal kita wajib membayarnya adalah pelanggaran Undang-undang Perpajakan. Perlu diingat bahwa pelanggaran ini melekat secara individual bagi tiap wajib pajak," ujar Yustinus.
Sementara itu terkait tidak mengakui pemerintahan hasil pilpres 2019, Yustinus mengatakan legitimasi pemilu bersandar pada pemenuhan kriteria dan prasyarat pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika terdapat sengketa, pemilu memiliki prosedur penyelesaian sengketa yang diatur undang-undang.
"Klaim terdapat kecurangan hanya akan berarti dan memiliki implikasi hukum jika diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan putusan MK membenarkan klaim tersebut. Tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, berbagai klaim dan tuduhan tersebut hanya akan mendelegitimasi seluruh institusi formal kenegaraan, dan tak lebih dari ratapan kegalauan kontestan yang tak siap kalah," ujar Yustinus.
Ia menambahkan, ajakan tidak mengakui pemerintahan yang sah hasil pemilu yang demokratis dan sah, memiliki konsekuensi dan risiko pelanggaran pada kewajiban dan tanggung jawab kewargaan. Sebagian pelanggaran tersebut bahkan memiliki konsekuensi hukum, termasuk pidana.
Sebelumnya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menyatakan seruan boikot bayar pajak sebagai bentuk pelaksanaan hak masyarakat karena tidak mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019.
Baca juga: Pande Radja Silalahi: Boikot pajak merugikan masyarakat
Baca juga: Zulkieflimansyah: Tak ada pajak, tak ada pembangunan
Pengamat nilai seruan boikot bayar pajak berbahaya
19 Mei 2019 21:12 WIB
Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo (ANTARA News/Citro Atmoko)
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: