Jakarta (ANTARA) - Masyarakat sipil yang bergabung dalam Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional menyerukan semua pihak untuk patuh terhadap konstitusi dan tidak terprovokasi mengikuti "people power".

"Saya khawatir turun nanti tanggal 22 Mei itu bukan untuk mengekspresikan pandangannya, tetapi untuk merusak hasil konstitusi itu sendiri. Ini ide yang sesat dan bisa merusak demokrasi bangsa," kata peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay di Gedung KPU, Jakarta, Minggu.

Gerakan people power, menurutnya, tidak mencerminkan pemilu yang taat hukum, tetapi malah menciptakan adu domba dan menimbulkan friksi tajam di kalangan elite, dan berimbas perpecahan di masyarakat umum.

Sementara itu, ahli hukum Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, gerakan pemilu damai itu bertujuan mengajak masyarakat untuk menghargai mekanisme hukum yang ada. Jika memang menemukan dugaan kecurangan, menurutnya bisa melaporkan ke Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), atau menempuh jalur sengketa ke Mahkamah Konstitusi.

"Semuanya sudah dilakukan terbuka. Kalau tidak percaya dengan MK, silakan diawasi. Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk tidak menerima mekanisme yang ada," ujar Bivitri.

Menurut Bivitri, people power hanyalah ketakutan yang diciptakan oleh para elit, sementara yang terkena dampaknya adalah masyarakat biasa.

Masyarakat sipil yang tergabung dengan Gerakan untuk Pemilu Damai dan Konstitusional terdiri dari Netgrit, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Partnership for Governance Reform (KEMITRAAN), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Presidium Nasional Jaringan Demokrasi Indonesia (Presnas JaDI), Lingkar Madani (LIMA) Indonesia, dan Indonesia Corruption Watch (ICW).