Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memastikan setiap rupiah utang dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan produktif dan investasi dalam jangka panjang yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya.

Dokumen APBN Kita edisi Mei 2019 yang diterima di Jakarta, Minggu, menyatakan pemanfaatan utang tersebut juga dilakukan secara akuntabel agar tidak menimbulkan kerugian.

Dalam dokumen itu dikatakan, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tercatat hingga akhir April 2019 mencapai 29,65 persen atau turun dibandingkan Maret 2019 sebesar 30,12 persen.

Dengan menurunnya rasio utang tersebut, pemerintah memastikan pengelolaan pembiayaan, terutama utang luar negeri, dilakukan secara terkendali dengan penerapan manajemen risiko baik.

Selain itu, arah kebijakan pembiayaan utang akan menyesuaikan dengan defisit APBN dimana pembiayaan melalui utang akan terus berkurang seiring dengan mengecilnya target defisit APBN.

Saat ini, jumlah outstanding utang pemerintah pusat pada April 2019 tercatat sebesar Rp4.528,45 triliun atau turun Rp38,86 triliun dibandingkan Maret 2019.

Komposisi utang tersebut antara lain berasal dari pinjaman sebesar Rp780,71 triliun atau 17,24 persen dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak Rp3.747,74 triliun atau 82,76 persen.

Khusus hingga April 2019, realisasi pinjaman luar negeri telah mencapai Rp15,08 triliun atau 49,96 persen dari target APBN dan SBN sebesar Rp160,49 triliun atau 41,26 persen dari target APBN.

Pemerintah juga memastikan mulai membatasi pinjaman luar negeri untuk menghindari fluktuasi mata uang yang nantinya dapat membebani anggaran dan semakin berdayanya dukungan domestik dalam pembangunan.

Strategi pendalaman pasar domestik melalui berbagai penerbitan SBN jenis ritel atau ritel dalam bentuk tabungan maupun SBSN Syariah saat ini telah diminati oleh masyarakat.

Penerbitan SBN konvensional melalui Savings Bond Ritel maupun SBSN Syariah melalui sukuk tabungan telah terjadwal bergantian setiap bulan dengan frekuensi masing-masing SBN tersebut sebanyak empat kali.

Terdapat juga penerbitan SBN ritel sebanyak dua kali dalam bentuk Obligasi Negara Ritel Indonesia (ORI) dan Sukuk Negara Ritel (Sukri) yang dapat diperdagangkan di pasar sekunder.


Baca juga: BI: Struktur utang luar negeri Indonesia tetap sehat, meski naik

Baca juga: Laporan: Risiko utang publik negara berkembang dapat dikendalikan