Jakarta (ANTARA) - Kebijakan pemerintah yang selama ini dinilai lebih menekankan proteksionisme dinilai tidak akan membantu dalam mengantisipasi berbagai kondisi perdagangan global pada saat ini, seperti kecemasan akan semakin meningkatnya intensitas perang dagang.
"Pendekatan yang selama ini dilakukan Presiden Joko Widodo cenderung ambivalen dan pragmatis dalam melihat dan menyikapi proteksionisme dalam perdagangan global. Untuk lebih membuka peluang terhadap peningkatan kinerja perdagangan internasional Indonesia, Presiden perlu bersikap lebih pragmatis," kata Board Member Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arianto Patunru dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.
Arianto mengingatkan bahwa Indonesia bakal terus menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks di masa mendatang, yang disebabkan antara lain oleh kebijakan perdagangan yang dijalankan oleh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut dia, kebijakan perdagangan Indonesia cenderung semakin proteksionis atau semakin tidak terbuka.
"Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Indonesia cenderung kurang termotivasi untuk membuka hambatan dalam perdagangan internasionalnya, terutama kalau dibandingkan dengan China, India dan Vietnam," paparnya.
Ia juga menyesalkan adanya perspektif yang menyatakan bahwa fenomena pelemahan nilai tukar rupiah yang juga disebabkan oleh kegiatan impor sehingga memengaruhi politisi untuk menolak impor.
Impor, lanjutnya, pada akhirnya lebih dipandang sebagai kegiatan yang tidak nasionalis dan tidak pro rakyat, padahal Indonesia masih membutuhkan impor karena hasil produksi dalam negeri yang belum mencukupi kebutuhan.
"Ini tidak baik dalam jangka panjang karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor dalam hal bahan yang dibutuhkan untuk input industri. Perspektif yang salah ini juga menyebabkan upaya Indonesia untuk menerapkan langkah-langkah non-tarif dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya mengarah pada produk yang tidak bersaing dengan harga di pasar internasional," ungkapnya.
Sebelumnya terkait dengan perang dagang, Peneliti CIPS, Assyifa Szami Ilman menyatakan sulit untuk mengetahui kapan perang dagang berakhir sehingga kebijakan domestik yang dikeluarkan pemerintah juga harus tepat guna mengantisipasi dan mengatasinya.
"Pada akhirnya, sebenarnya sulit untuk mengetahui kapan akhir dari perang dagang ini. Kehadiran perundingan (AS-China) tidak bisa dijadikan indikator akan meredanya perang dagang," kata Assyifa Szami Ilman.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah antara lain dapat memberikan pelonggaran sementara atau permanen terhadap barang-barang yang masih menghadapi restriksi seperti bea ekspor agar harga barang ekspor di pasar internasional lebih kompetitif.
Namun perlu diingat, lanjutnya, Indonesia perlu mendorong peningkatan nilai jual produk ekspor tersebut.
Ia berpendapat bahwa insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspor produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi untuk selanjutnya dapat diberikan melalui skema keringanan kewajiban seperti keringanan pajak, baik itu bersifat temporer maupun permanen.
"Pemerintah perlu memastikan bahwa komoditas yang diekspor saat ini memiliki harga yang kompetitif di pasar internasional dan seterusnya juga secara konsisten mendorong peningkatan ekspor untuk produk dengan nilai jual yang lebih tinggi," katanya.
Baca juga: IGJ: Negara maju lebih banyak lakukan proteksi perdagangan
Baca juga: China minta AS "menahan diri" dalam proteksi perdagangan
Kebijakan proteksionisme tidak akan bantu antisipasi perang dagang
15 Mei 2019 17:44 WIB
Ilustrasi perang dagang AS - China. (/)
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: