Balittra yang dikomando Hendri Sosiawan pun terus mendorong petani bisa mengoptimalkan lahan rawa, sehingga dapat melakukan tanam dua hingga tiga kali dalam satu tahun.
Seperti yang menjadi tugas salah satu stafnya Prof Dr Ir Muhammad Noor yang merupakan peneliti utama di Balittra, dia bertugas di bidang tata air atau pengelolaan air.
Menurut Prof M Noor, teknologi pengelolaan air untuk mengatur debit air di lahan rawa yang selalu tergenang sangat penting. Dimana optimalisasi jaringan tata air untuk mengendalikan tinggi muka air di saluran dan lahan sawah wajib dilakukan agar proses tanam bisa berhasil hingga panen.
"Kuncinya adalah perlu infrastruktur pengelolaan air di lahan rawa yang meliputi tanggul keliling. Kedua, adanya saluran untuk memasukkan dan mengeluarkan air, ketiga, pompa untuk bisa menggerakkan air apabila diperlukan pada saat musim kemarau dan apabila perlu dibuang pada musim hujan," papar putra daerah kelahiran Banjarmasin 21 November 1957 ini ketika ditemui di Kantor Balitra Jalan Kebun Karet, Kelurahan Loktabat Utara, Kota Banjarbaru.
Pria yang mendapat anugerah Profesor Riset ke-451 dari LIPI pada tahun 2014 ini mengakui, kurangnya infrastruktur jaringan tata air masih terus ditingkatkan dan dikembangkan oleh pemerintah.
"Sekarang ini permasalahannya air belum bisa dikendalikan sepenuhnya. Kalau musim hujan daerah rawa kebanjiran. Pada musim kemarau kekeringan, sehingga untuk tanam dua kali mengalami kendala. Di musim hujan melimpah air tidak bisa dibuang. Musim kemarau kekeringan tidak bisa menyediakan air," katanya.
Untuk itu, petani yang pasrah hanya melakukan tanam secara alami menyesuaikan kondisi air. Dimana mulai tanam ketika air sudah mulai turun. Alhasil, banyak petani di Kalimantan Selatan yang daerahnya lahan rawa hanya tanam satu kali setahun.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, ungkap Prof M Noor, kunci pertama pengelolaan tinggi muka air. Kedua, kemampuan memanfaatkan air pasang masuk untuk kemudian bisa mencuci tanah dari asam-asam dan racun-racun yang ada di tanah.
"Jadi di lahan rawa pasang surut misalnya, terkenal ada parit yang bisa membuat tanah asam. Dengan pengelolaan air yang baik, dia mencuci dan ikut di dalamnya aluminium dan sulfat. Sehingga akan berkolerasi pada hasil tanam," jelasnya.
Selama ini, petani hanya membuat saluran masuk untuk memasukkan air dari sungai. Kemudian dengan saluran yang sama mengeluarkan air pada saat surut. Istilahnya dua arah.
Pengelolaan air secara tradisional itu kemudian dimodifikasi oleh peneliti Balittra dengan membuat saluran satu arah supaya berputar jadi air benar-benar tercuci sempurna.
"Proses pencucian air di lahan rawa pasang surut ini sangat penting karena tingginya kandungan asam dan unsur lainnya. Untuk menerapkan ini perlu pintu-pintu air, jadi jika air pasang dia menendang terbuka dan kalau surut tertutup," katanya.
Kondisi air juga berpengaruh pada hama dan penyakit. Diketahui ada beberapa hama tikus dan orong-orong menyerang saat air pasang. Sebaliknya, gulma juga tumbuh subur saat air kering, sehingga ketinggian muka air di lahan sawah mesti benar-benar diatur secara tepat sesuai kebutuhan.
M Noor menyatakan lahan rawa memang memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan berbagai komoditas baik tanaman pangan, sayur sayuran, buah buahan maupun tanaman perkebunan.
Namun, yang utama dari pengelolaan lahan rawa ini adalah pengelolaan air harus baik sebagai syarat utama.
Adapun teknologi budidaya setiap tanaman komoditas itu akan menyesuaikan dengan kondisi lahan rawa. Begitu pula dengan benih yang digunakan juga harus sudah teruji di lahan rawa.
"Rawa bisa disebut penyangga pangan nasional. Karena di saat Agustus paceklik di tempat lain, di kita seperti Kalimantan Selatan panen. Itu kelebihan dari rawa," kata M Noor yang meraih gelar S1 Ilmu Tanah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, S2 di Institute Pertanian Bogor dan S3 di Universitas Gadjah Mada.
Sekarang tugas bersama mendorong petani agar semangat melakukan tanam dua sampai tiga kali setahun melalui penerapan teknologi tepat guna yang sudah dikembangkan oleh para peneliti.
Karena menurut M Noor, tanam satu kali setahun sebenarnya lebih kepada budaya masyarakat yang cenderung hanya mengikuti kondisi alam alias tak mau "melawan" alam. Ada juga yang berkeyakinan, memberikan kesempatan lahan untuk "bernafas" sebelum kembali ditanami untuk masa tanam berikutnya.
Dalam perkembangan terbarunya, Balitbang Pertanian juga sudah mengembangkan Sistem Irigasi Pompa Tenaga Surya (SIPTS) untuk pengembangan pertanian di lahan kering.
Inovasi memanen air ini dikenalkan Balittra kepada para petani di daerah sehingga diharapkan bisa dimanfaatkan betul lantaran ramah lingkungan dan menghemat bahan bakar minyak hingga 183 persen per musim tanam.*