Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong penerapan sistem bioflok yang berpotensi melesatkan produksi perikanan seperti ikan nila karena berdampak positif kepada tingkat kelangsungan hidup sekaligus mengutamakan prinsip keberlanjutan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu, meyakini bahwa pengembangan budidaya nila sistem bioflok merupakan salah satu terobosan untuk meningkatan produksi nila secara nasional maupun guna meningkatkan pendapatan pembudidaya secara signifikan, namun tetap mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Menurut Slamet, hal tersebut tampak antara lain dari tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) ikan mampu mencapai hingga 90 persen.
Selain itu, ujar dia, tingkat penggunaan pakan semakin efisien, di mana nilai feed conversion ratio (FCR) mampu mencapai 1,05 artinya untuk menghasilkan 1 kg ikan nila hanya dibutuhkan 1,05 kg pakan.
Angka tersebut, lanjutnya, menurun drastis jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa dimana FCR-nya mencapai 1,5. Kepadatan juga meningkat tajam, yakni sebanyak 100 ekor/meter kubik atau 10 kali lipat dibandingkan dengan sistem konvensional hanya 10 ekor/meter kubik.
Ia menegaskan bahwa penerapan teknologi ini terbukti efektif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya air dan lahan serta adaptif terhadap perubahan iklim.
"Sedangkan ikan nila sendiri merupakan salah satu komoditas air tawar yang potensial untuk dikembangkan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, pertumbuhannya cepat serta lebih resisten terhadap penyakit. Jadi ini memang kombinasi yang sangat tepat," ujar Slamet.
Slamet mengingatkan bahwa ikan nila semakin diminati masyarakat sehingga permintaan pasar meningkat tinggi, selain untuk konsumsi lokal juga merupakan komoditas ekspor terutama ke Amerika Serikat dalam bentuk filet, sehingga produktivitasnya harus dipacu terus-menerus.
Ia juga menjelaskan bahwa penguasaan teknologi budidaya nila bioflok kini terus diperluas di berbagai daerah melalui unit pelaksana teknis (UPT) perikanan budidaya KKP.
"Teknologi bioflok di masyarakat akan terus dikawal UPT-UPT dan para penyuluh agar tidak keliru menerapkannya, juga harus diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik seperti penggunaan benih unggul, pakan sesuai SNI, serta monitoring kualitas air budidaya," ucapnya.
Slamet meyakini teknologi ini juga mampu menjamin tersedianya sumber protein yang harganya terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, guna memperbaiki gizi masyarakat, selain dapat menyediakan lapangan kerja.
Berdasarkan data KKP, produksi ikan nila secara nasional terus mengalami peningkatan, dari produksi tahun 2016 sebesar 1.114.156 ton, sedangkan tahun 2017 meningkat menjadi 1.265.201 ton, serta produksi hingga triwulan III tahun 2018 tercatat 579.688 ton.
Sentra budidaya ikan nila di Indonesia diantaranya Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, di mana secara berurutan pada tahun 2017 produksinya yakni 344.583,06 ton, 160.594,19 ton, 114.391,16 ton, 91.571,39 ton, dan 51.228,37 ton.
Baca juga: Dirjen: budi daya lele sistem bioflok program prioritas nasional
Baca juga: Hasil budidaya lele bioflok 10 kali lipat
KKP sebut sistem bioflok berpotensi lesatkan produksi perikanan
11 Mei 2019 10:45 WIB
Dirjen Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto. (Dokumentasi Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: