Denpasar (ANTARA) - Kawasan Pura Besakih di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, memiliki 19 pura yang menjadi saksi sejarah perkembangan Bali, juga Indonesia.

"Paling tua, pura di sini dibangun pada abad kedelapan, tapi ada juga yang berasal dari abad ke-11. Namun, sebagian pura juga ada yang sudah ditambal dengan batu-batuan dari bekas letusan Gunung Agung pada tahun 1963," kata Nyoman, seorang pemandu wisata di kawasan pura itu.

Menurut dia, pura tertua di kawasan Pura Besakih, yang luasnya 2.000-an hektare, adalah Pura Basukian yang dibangun oleh masyarakat Hindu Majapahit dari Jawa pada abad ke-8, sementara pura yang terbesar adalah Pura Penataran Agung yang dibangun abad ke-11.

"Umumnya, atap dari pura di Besakih terbuat dari ijuk bersusun yang dirancang dengan susunan dalam jumlah ganjil yakni 1, 3, 5, 7, 9, dan 11. Angka ganjil itu memiliki makna keberuntungan dalam agama Hindu, karena itu angka ganjil itu penting umat Hindu," katanya.

Ia menambahkan atap ijuk bisa bertahan sampai 20-an tahun. "Kalau sudah 20-an tahun diganti dengan atap ijuk yang baru. Kalau tidak diganti akan membuat lapuk pada kerangka kayu-nya, sehingga harus diganti agar kayu-nya awet," tuturnya.

Kawasan Pura Besakih sudah dikelilingi pemukiman penduduk, yang masing-masing warganya juga membangun pura.

"Besakih sendiri berasal dari istilah Jawa yakni 'basuki' yang berarti selamat. Kalau orang Jawa menyebutnya 'basuki', tapi orang Bali menyebutnya dengan 'besakih', yang maknanya sama yakni selamat. Jadi, Banjar Besakih adalah banjar yang penuh dengan keselamatan," Nyoman menjelaskan.

Pada hari-hari tertentu, warga Besakih melakukan ritual dengan mendatangi pura-pura di kawasan Pura Besakih untuk bersembahyang. "Mereka bisa melakukan ritual cukup lama, bahkan kalau mereka datang pukul 18.00 Wita, maka ritual bisa selesai pukul 00.00 Wita," katanya.

Selain ritual pada hari-hari tertentu, mereka juga melaksanakan ritual rutin bulanan dan tahunan, dan ada pula ritual 10 tahun sekali pada tahun dengan angka sembilan di belakang seperti 1989, 1999, 2009, 2019, 2029, dan 2039. Namanya, Panca Wali Krama.

"Kalau Panca Wali Krama itu, masyarakat juga menyediakan ritual khusus untuk makhluk gaib yang diundang secara ritual pula oleh pedanda. Mereka diundang dan diberi sesaji berupa berbagai hewan dan buah agar makhluk ghaib itu tidak mengganggu masyarakat yang ritual di Besakih selama 40-an hari," katanya.

Kompleks Pura Besakih meliputi satu Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (satu Pura Basukian dan 17 pura lain). Pura Basukian diyakini sebagai tempat petama diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya sebagai cikal bakal Agama Hindu Dharma di Bali sekarang.

Di antara semua pura dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar dan menjadi "pusat" semua pura. Di Pura Penataran Agung terdapat tiga arca utama yang merupakan simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang berturut-turut merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur (Reinkarnasi).

Pura Besakih juga diyakini masyarakat memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Gunung tertinggi di Pulau Bali itu dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah atau "Istana" Para Dewata yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah Bali dan sekitarnya.

Manajemen "taksu" wisata

Tepat 40-an hari setelah Panca Wali Krama atau tanggal 14 April 2019 (Ritual Panca Wali Krama mulai diselenggarakan pada tanggal 6 Maret 2019), jejak dari ritual 10 tahunan itu masih tersisa di sana-sini.

Tempat khusus untuk ritual dan persembahan bagi makhluk gaib masih semarak di pintu masuk Pura Besakih. Payung warna-warni masih tersebar di dekat Pura Penataran Agung dan berbagai hiasan masih ada pada belasan puranya, termasuk banten/sesajen, yang masih tersisa di pura tempat ritual khusus untuk mengundang makhluk gaib ke kawasan Besakih.

"Payung warna kuning dan putih itu simbol Dewa Wisnu (angin), lalu payung warna merah itu simbol Dewa Brahma (api) dan payung warna hitam simbol Dewa Siwa (air)," kata Nyoman, menjelaskan makna dari warna-warna payung untuk ritual.

Ritual umat Hindu di Besakih yang semarak menarik bagi wisatawan mancanegara. Saat Panca Wali Krama 2019, banyak wisatawan mancanegara yang tidak bisa masuk ke Besakih karena pengunjung kawasan pura membeludak.

"Ya, mereka akhirnya berwisata ke tempat lain dan setelah 40-an hari pun, mereka berusaha datang lagi ke sini, karena mereka memang ingin ke Pura Besakih. Setiap hari, wisatawan yang datang ke Besakih memang mayoritas dari mancanegara dengan jumlah rata-rata 300-500-an orang per hari," katanya.

Namun, katanya, wisatawan yang datang pada Juni-Juli biasanya sampai ribuan karena masyarakat Eropa memanfaatkan liburan musim panas untuk berwisata ke negara lain, termasuk ke Indonesia.

Namun untuk menikmati kompleks pura dengan berbagai ritualnya, wisatawan harus membayar berbagai retribusi, mulai dari parkir, sewa sarana ritual, tiket masuk, retribusi kebersihan, pemandu wisata, hingga ongkos masuk lokasi pura yang disucikan.

Retribusi yang tidak tercatat itu membuat beberapa wisatawan mengeluh, merasa tidak nyaman dengan pengelolaan retribusi yang terkesan semrawut.

Seorang turis Asia yang enggan disebut namanya merasa tidak nyaman dengan penarikan berbagai retribusi di Besakih.

"Kalau begini caranya, kami lebih baik datang ke pura lain di Bali yang manajemen pengelolaan retribusinya lebih baik dan tidak terlalu banyak," ujar seorang turis Asia yang datang ke Besakih bersama istrinya pada 6 Maret 2019).

Hal senada juga disampaikan oleh Iwan, seorang wisatawan domestik. "Rasanya, gimana ya. Pura Besakih merupakan tempat suci, tapi di sana tidak ada kejujuran. Itu berbeda dengan kalau saya ke pura lain di Bali. Kalau pura lain yang tidak sebesar Besakih, bisa baik dalam manajemen, mestinya Besakih justru bisa lebih baik lagi," katanya.

Ia berharap Pemerintah Kabupaten Karangasem maupun Pemerintah Provinsi Bali memperbaiki pengelolaan retribusi di Pura Besakih mengingat pura terbesar di Asia Tenggara itu merupakan salah satu "taksu" (kekuatan atau karisma) Pulau Dewata.

Pemerintah daerah baiknya juga mendengarkan masukan dari para wisatawan, yang menyampaikan kritik semata agar Pura Besakih menjadi 'basuki' dan menyebarkan kebaikan bagi masyarakat, pemerintah, dan juga wisatawan.

Baca juga: Ribuan Umat Hindu ikuti proses Melasti Pura Besakih