Jakarta (ANTARA News) - Undang-undang (UU) Kepailitan yang berlaku saat ini dapat menjadi "bom waktu" dan ancaman bagi industri pasar modal karena dalam UU tersebut banyak mengandung kelemahan dan celah yang bisa dimanfaatkan kreditur maupun perusahaan itu sendiri (debitur) untuk mempailitkan dirinya sendiri. "UU Kepailitan dapat menjadi bom waktu dan mengancam industri pasar modal. Sebaiknya pelaku pasar sudah dapat mengantisipasi dari awal sebelum menjadi bom waktu," kata Direktur PT Sarijaya Securities Zulfiyan Alamsyah di Jakarta, Senin. Hal yang paling mendesak saat ini, katanya, adalah merevisi UU tersebut agar lebih baik dan tidak banyak celah yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang akan mengeruk keuntungan dari UU ini. "UU Kepailitan ini mengerikan apabila banyak kasus pailit terjadi di perusahaan publik. Bagaimana misalnya, kreditur kecil atau suplier dapat mempailitkan Telkom (perusahaan besar) yang menjadi penggerak utama Bursa Efek Indonesia (BEI)? Ini berbahaya karena dapat merugikan investor maupun perusahaan-perusahaan efek (broker)," kata Zulfiyan. Hal senada diungkapkan praktisi hukum bisnis Dhaniswara K. Harjono. Menurutnya, kreditur begitu mudahnya untuk mempailitkan perusahaan. Pasal 1 dan 2 dalam UU Kepailitan mengenai cara-cara mempailitkan perusahaan dapat menjadi pemicu ketidakpastian hukum di pasar modal, karena tidak ada perbedaan perlakuan untuk mempailitkan perusahaan publik dan non publik. Menurutnya, dalam UU Kepailitan tersebut, dua kreditur sekecil apapun dapat mempailitkan perusahaan besar. Selain itu jika si debitur (perusahaan) telat satu hari saja untuk bayar utang ke kreditur, maka kreditur itu dapat mengajukan gugatan pailit. "Ini sangat riskan dan berbahaya bagi keberlangsungan usaha perusahaan," katanya. Dia menambahkan dua kreditur yang piutangnya telat dibayar debitur dapat menjadi syarat mereka untuk mempailitkan perusahaan. "Undang-undang ini banyak dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin mempailitkan perusahaan. Orang yang punya piutang satu rupiah pun dapat mempailitkan perusahaan, ini jadi masalah," tambahnya. Menurutnya, UU kepailitan ini merupakan produk yang dipaksakan dan baru diluncurkan pada 1998 lalu. UU ini sudah banyak menelan korban, di antaranya kasus pailit Manulife. Dia menyarankan sebaiknya UU ini direvisi untuk memperbaiki kelemahannya. Selain itu Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) seharusnya dilibatkan paling tidak dimintakan pendapatnya jika terjadi kasus pailit di perusahaan publik. Sementara itu Sekretaris Perusahaan Polysindo, Tunaryo menjelaskan perseroannya yang sedang terganjal kasus gugatan pailit. Polysindo digugat pailit oleh krediturnya Babbington Development Ltd (supplier). Saat ini kasusnya ditangani Polda Metro Jaya dengan dugaan Babbington merupakan perusahaan fiktif, karena tidak terdaftar di Hongkong seperti yang disebutkan dalam permohonannya. "Babbington menurut penulusuran Polysindo didirikan berdasarkan hukum British Virgin Islands, Karibia," katanya. Dia menambahkan sebelumnya sebanyak 85,7 persen dari 147 kreditur menyepakati perjanjian perdamaian pada 27 Oktober 2005 dan disahkan pengadilan niaga pada November 2005. Akhirnya status pailit Polysindo dicabut. Namun belakangan muncul kekisruhan lagi saat Babbington tampil sebagai kreditur ke 148 pada Oktober 2006. Meski namanya tidak tercantum dalam kreditur perjanjian perdamaian, Babbington juga merasa memiliki hak untuk menagih. (*)