Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan salah satu akar masalah konflik agraria terkait tumpang tindih hak guna usaha (HGU) perusahaan dan tanah warga, karenanya area perusahaan yang berasal dari tanah publik seharusnya bisa diakses sangat mudah oleh publik.

“Kalau informasi soal HGU yang berasal dari publik tidak bisa diakses artinya memang (Kementerian) ATR/BPN perlu dievaluasi oleh Presiden, dalam kondisi ini Presiden perlu bersikap tegas untuk menunjukkan keberpihakannya pada rakyat dan lingkungan hidup,” katanya dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat.

Mahkamah Agung sudah memutuskan agar pemerintah membuka data HGU sebagai informasi publik berdasarkan putusan bernomor register 121 K/TUN/2017. Ia mengatakan salah satu ekses tidak dipatuhinya perintah Mahkamah Agung untuk membuka data HGU mengakibatkan konflik tak kunjung selesai antara warga Desa Sembuluh I dengan PT Selonok Ladang Mas.

Berdasarkan catatan WALHI, konflik sudah berlangsung sejak 2008 sampai dengan saat ini, bahkan melibatkan oknum Kepolisian dari Polsek Danau di Kalimantan Tengah. Warga yang memperjuangkan tanah dan sumber kehidupannya di sekitar Danau Sembuluh terus dipaksa untuk menyerahkan tanahnya kepada perusahaan, ujar dia.

Lebih lanjut ia mengatakan KPK punya catatan terhadap sektor sawit yang diklaim sebagai sektor strategis nasional ini. Korporasi sawit punya catatan buruk terhadap kepatuhan pajak, bahkan pada 2014 saat ekspor meningkat pajak dari sektor sawit justru menurun.

Klaim bahwa terkait dengan petani kecil mudah sekali dipatahkan, mengingat komoditas ini sangat tergantung korporasi besar, penentuan harga hingga sebagian besar proses produksi dan ekonomi bukan di tangan petani, bahkan pengelolaan dana perkebunan sawit justru juga kembali pada korporasi.

Dari data KPK tahun 2017, kebijakan pengelolaan dana perkebunan sawit yang seharusnya digunakan untuk pengembangan perkebunan sawit rakyat malah dialihkan untuk kepentingan pengembangan industri biodiesel berupa program subsidi kepada perusahaan biodiesel, yang didominasi penggunaannya oleh lima korporasi sawit berskala besar, yakni Wilmar Group, Musim Mas Group, Darmex Agro Group, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC).

Untuk menyikapi beberapa informasi ini, Nur Hidayati mengatakan Walhi memandang keterbukaan informasi tidak sekadar membuka peluang untuk menemukan akurasi lokasi konflik antara rakyat dan pemegang izin, namun membantu proses identifikasi dan pemantauan publik terhadap ancaman aktivitas perusahaan yang dianggap membahayakan lingkungan.

Dia mengatakan upaya-upaya langkah mundur seperti ini akan berakibat pada, pertama, melanggengkan konflik agraria, akibat tidak jelasnya data, angka tertinggi luasan konflik berada pada sektor perkebunan.

Kedua, melegalkan praktik koruptif pada praktik perizinan perkebunan, sebab menghambat singkronisasi data antarkementerian, mengingat perbedaan data yg cukup signifikan antara BPN dan kementan.

Ketiga, menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan agar pemerintah membuka data HGU sebagai informasi publik berdasarkan putusan bernomor register 121 K/TUN/2017.

Keempat, meningkatnya bencana ekologis dan kerusakan lingkungan, karena faktanya dalam catatan Walhi, setidaknya terdapat izin HGU seluas 1.859.932,50 hektare yang didominasi HGU sawit berada di kawasan kesatuan hidrologis gambut (KHG). Pada rentang waktu 2017-2018 terjadi peningkatan titik api di ekosistem gambut, dari 346 menjadi 3.427 titik panas sebagai indikasi kebakaran hutan yang meningkat dalam periode terakhir didominasi pada kawasan izin konsesi. (*)