Surabaya (ANTARA News) - Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI H Effendy Choirie mengemukakan, DPR akan memanggil Presiden pada bulan Januari mendatang, terkait persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Jadi, interpelasi BLBI dan KLBI (Kredit Dana akan digulirkan mulai Januari). Kami akan memanggil Presiden, apakah Presiden yang datang atau menteri, bagi kami yang terpenting ada penjelasan," katanya di Surabaya, Sabtu. Di sela-sela menghadiri pengukuhan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Kacung Marijan PhD, ia mengatakan, pengusutan korupsi dana BLBI itu penting, karena menyangkut uang negara senilai Rp600 triliun lebih. "Kalau uang sebanyak itu dapat ditarik kembali, tentu akan dapat digunakan untuk pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat kecil. Karena itu, DPR akan mengupayakan kembalinya dana BLBI itu," katanya menegaskan. Menurut dia, DPR tidak akan mengutamakan upaya hukum dalam kasus korupsi dana BLBI itu, tapi juga melakukan upaya politis melalui negosiasi, karena hal terpenting adalah mengembalikan uang negara yang cukup besar itu. "Kalau upaya hukum mungkin waktunya akan lama dan menguntungkan segelintir orang, tapi kalau upaya politis akan cepat," katanya. Oleh karena itu, DPR akan meminta Presiden melakukan negosiasi dengan para obligor nakal, agar mereka mengembalikan dana rakyat dengan jaminan tidak akan diproses secara hukum. "Yang perlu diingat, interpelasi hanya untuk meminta penjelasan atas sikap pemerintah dalam penyelesaian BLBI dan minta keterangan tentang utang bunga obligasi di APBN," katanya menambahkan. RUU Parpol Tentang RUU Parpol, Ketua FKB DPR RI itu menyatakan, RUU yang ada tampaknya masih akan menerapkan sistem Pemilu seperti sebelumnya, yakni sistem proporsional dan bukan sistem distrik. "Sistem distrik tampaknya masih banyak politisi yang menentang, tapi sistem kepartaian yang menerapkan `parliamentary treshold` (ambang batas perolehan kursi untuk masuk gedung DPR) tampaknya diakomodir dengan digabung `electoral treshold` (ambang batas perolehan suara untuk dapat mengikuti Pemilu)," katanya. Bahkan, FKB mengusulkan batas minimal kursi di DPR sebanyak 40 kursi. "Kalau tidak mencapai kursi sebanyak itu, maka partai yang bersangkutan tak mempunyai wakil di parlemen," katanya. Untuk "electoran treshold", lanjutnya, FKB mematok ambang batas perolehan suara untuk dapat ikut Pemilu lagi adalah 3-4 persen atau lebih besar dibanding Pemilu sebelumnya yang hanya menerapkan ET sebesar dua persen. "Partai Golkar menghendaki lebih tinggi yakni enam persen, sedangkan partai-partai kecil hanya menghendaki 2,5 persen. Karena itu, FKB memilih alternatif di tengah-tengah yakni 3-4 persen," katanya.(*)