Jakarta (ANTARA) - Setelah selama puluhan tahun rakyat Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya mendengar rencana pemindahan ibu kota pemerintahan dari Betawi ke daerah lainnya, akhirnya rencana yang selama ini “gelap-gulita” alias tidak jelas juntrungannya, kini mulai "terang-benderang".
Presiden Joko Widodo pada hari Selasa dan Rabu (7-8 Mei) mendatangi Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah bersama sejumlah pejabat negara.
Kunjungan kerja dua hari ini pasti menarik perhatian tidak hanya bagi bangsa Indonesia tapi juga orang- orang asing. Kenapa?
Pemindahan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pasti tidak hanya terkait dengan pembangunan fisik berbagai gedung yang sangat strategis tapi juga harus memperhatikan unsur politik, ekonomi,sosial budaya serta pertahanan dan keamanan. Yang juga amat perlu dihitung- hitung adalah berapa besarnya anggaran yang harus disediakan .
Ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah, dia dikejar kejar wartawan yang menanyakan kapan ibu kota negara akan dipindahkan.
Secara terus-terang, Jokowi mengancer-ancerkan waktu 50 hingga 100 tahun. Dengan harus memperhatikan berbagai faktor seperti yang disebutkan di atas maka rasanya angka 50-100 tahun ini rasanya bukanlah hal yang berlebihan.
Apabila memindahkan ibu kota Jakarta ke daerah yang mana pun juga, maka faktor yang amat perlu diperhatikan adalah berapa luas lahan yang bakal disiapkan oleh bakal daerah yang terpilih menjadi ibu kota Indonesia. Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur disebut- sebut sanggup menyiapkan 100.000 hingga 300.000 hektare
Jika satu daerah sudah terpilih, maka misalnya pemerintah pusat harus menentukan apa yang paling penting atau diutamakan untuk dibangun, misalnya apakah membangun istana kepresidenan, lengkap dengan kantor-kantor kementerian misalnya Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Pertahanan seta Bank Indonesia, ataukah membangun rumah bagi rakyat walaupun mungkin saja masyarakat di sana selama ini sudah memiliki rumah walaupun bisa saja belum memenuhi persyaratan kesehatan.
Kemudian bagaimana memidahkan semua kedutan besar negara- negara sahabat dan lembaga- lembaga internasional. Selain itu, karena selama ini pegawai negeri sipil alias aparatur negara sipil ada di Jakarta maka pertanyaannya adalah apakah mereka dipindah tanpa kecuali ataukah ditarik alias direkrut pegawai- pegawai baru dari ibu kota yang baru tersebut?
Jadi, amat jelas bahwa pemindahan ibu kota negara amatlah sulit karena begitu banyak aspek yang harus direncanakan sejak awal hingga detik-detik terakhir pengalihan tersebut. Jokowi telah membentuk tim antarkementerian dan lembaga untuk mempelajari masalah ini secara mendalam.
Dengan memindahkan ibu kota maka apa yang harus dipindahkan dan mana pula aspek- aspek yang bisa ditinggalkan? Apakah ibu kota baru hanya untuk hal-hal yang politik dan pemerintahan sehingga kegiatan perdagangan dan ekonomi misalnya Bursa Efek Indonesia tetap saja di Jakarta?
Dengan merenungkan berbagai contoh tersebut maka jelas masyarakat bisa mengetahui bahwa pemindahan ibu kota sama sekali tidak semudah membalikkan tangan karena begitu banyak unsur yang harus diamati sejak sekarang sehingga angka 50-100 tahun yang ditargetkan Joko Widodo bisa terlaksana alias terwujud.
Jakarta
Jakarta kini pada siang hari kira-kira dihuni oleh 10 hingga 11 juta jiwa sedangkan di malam hari ditinggali oleh lebih kurang sembilan juta jiwa. Mereka bukan hanya orang Betawi tapi juga warga Sunda, Jawa, Batak, Sasak hingga Dayak.
Selama ini Jakarta menjadi pusat kehidupan, ekonomi, budaya , pendidikan hingga politik sehingga tak pelak lagi Jakarta menjadi tempat untuk mencari uang mulai dari gelandangan, tukang sampah hingga konglomerat. Akan tetapi lama-kelamaan Jakarta “kehabisan napas” karena penduduknya sudah sangat berlebihan sedangkan daya tampugnya sudah amat terbatas.
Sekalipun Jakarta sudah dilengkapi dengan busway, KRL, MRT, LRT, tetap saja bebannya sudah amat terlewati. Belum lagi gangguan cuaca misalnya banjir yang “didatangkan” dari kota tetangganya Bogor sehingga kesemrawutan tak tertanggulangi.
Karena itu, program pemindahan ibu kota Jakarta tak pelak lagi harus direncanakan secara matang dan benar- benar terencana, terjadwal hingga akhirnya terwujud.
Karena Presiden Joko Widodo sudah mendatangi Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah maka cepat atau lambat pemerintah pusat terutama lewat Bappenas harus sudah mulai menyiapkan secara matang rencana yang amat penting alias krusial ini. Sebab apabila pemindahan ibu kota dari Jakarta ini tertunda dan tertunda lagi maka amat bisa dibayangkan situasi di Jakarta 50 tahun lagi.
Presiden Republik Indonesia pasti akan terus berganti siapa pun orangnya, partai politik pendukungnya sehingga yang yang paling diutamakan adalah proses perencanaan ini harus terus disiapkan, dirancang, dilaksanakan sehingga akhirnya betul- betul terwujud. Tentu akan muncul berbagai tantangan, godaan guna mewujudkan rencana "raksasa" ini.
Harus diingat bahwa pemindahan ibu kota pemerintahan merupakan hal yang tak mungkin dielakkan sehingga siapa pun orang Indonesia harus siap menerimaya. Yang kini menjadi kewajiban masyarakat adalah merenungkan serta memutuskan menerima atau menolak usulan pemerintah. Kalau menolak usul pemerintah maka rundingkanlah jalan keluarnya sehingga akhirnya 100 persen disepakati untuk kemudian mulai dilaksanakan.
Program raksasa ini harus disepakati karena akan sangat mempengaruhi NKRI pada masa mendatang. Sekalipun mungkin bakal muncul 1001 masalah, kesepakatan tentang pemindahan ibu kota ini akan menjadi faktor amat penting bagi tetap bersatunya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN Antara tahun1982-2018. Pernah meliput acara kepresidenan tahun 1982-2009
Telaah
50 tahun lagi ibu kota berpindah ?
Oleh Arnaz Ferial Firman *)
9 Mei 2019 11:12 WIB
Presiden Joko Widodo berjalan di kawasan hutan saat meninjau salah satu lokasi calon ibu kota negara di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Rabu (8/5/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Copyright © ANTARA 2019
Tags: