Palu (ANTARA) - Sampai hari ini, 30 persen pengungsi bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Kota Palu masih tinggal dan hidup di selter-selter pengungsian.

Wali Kota Palu, Hidayat di Palu, Rabu, menjelaskan masih banyaknya pengungsi tinggal di selter disebabkan fasilitas umum dan vital di hunian sementara (huntara) baik yang dibangun oleh Non Government Organization (NGO) maupun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum terpasang dan tersedia.

"Permasalahannya listrik dan air bersih yang belum ada. Kebanyakan huntara atau hunian nyaman yang dibangun NGO," tambahnya.

Oleh sebab itu, dia menyatakan telah meminta kepada Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola selaku perwakilan pemerintah pusat di daerah agar secepatnya mengatasi persoalan itu.

"Terang kami (Pemerintah Kota Palu) tidak punya dana untuk membiayai pemasangan dan penyediaan listrik dan air bersih di sana," katanya.

Selain itu masih adanya pengungsi yang tinggal di selter atau tenda pengungsian, lanjutnya juga disebabkan belum siapnya lahan yang akan dimanfaatkan sebagai kawasan pembangunan huntara.

Dia mencontohkan pengungsi tsunami di Kelurahan Baru yang kini tinggal di selter-selter pengungsian di halaman Masjid Agung Darussalam Palu saat ini masih menunggu huntara yang akan dibangun di halaman Universitas Tadulaku di Kelurahan Lere.

"Di sana akan dibangun huntara bantuan dari Bank BRI. Padahal Bank BRI sempat akan menghentikan pembangunan huntara di sana karena laporan camat dan lurah kepada pihak Bank BRI bahwa tidak ada lahan," ucapnya.

Dia menyebut jumlah pengungsi bencana di Palu hingga saat ini tidak kurang dari 40 ribu jiwa.

Selain di halaman Masjid Agung Darusslam Palu, beberapa kawasan selter pengungsian di ibu kota Provinsi Sulteng itu masih ditinggali oleh pengungsi.

Di antaranya di kawasan pengungsian terpadu di Sport Center Kelurahan Balaroa, selter pengungsian bantuan Mercy Malaysia di Kelirahan Lere dan sekitar lapangan golf di Kelurahan Talise.