Nusa Dua (ANTARA News) - Kapal layar sepanjang 55,2 meter itu bergerak pelan menuju Pelabuhan Benoa, Bali, Jumat, diiringi puluhan kapal jukung milik nelayan yang mengusung poster bermacam tulisan. Ketika kapal pukat ikan yang telah dimodifikasi menjadi kapal motor layar itu semakin dekat dari pandangan sejumlah wartawan yang mencegatnya dengan perahu wisata, terlihat gambar pelangi, nama kapal "Rainbow Warrior", dan nama organisasi pemilik kapal itu "Greenpeace". Tidak ada "Rainbow Warrior" tanpa aksi protes dan tuntutan, begitu sejarah kapal itu. Hal seperti itu pula yang dilakukan Greenpeace ketika hendak merapat ke Bali, tempat Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), 3-14 Desember 2007. Sejumlah poster yang dibentangkan di kapal-kapal jukung nelayan yang mengiringi kapal layar tiga tiang itu pun bernada tuntutan, "selamatkan terumbu karang" dan "save our oceans". Ketika kapal-kapal itu memasuki kawasan pelabuhan, petugas keamanan yang mengikuti iring-iring unjuk rasa itu dengan Kapal Patroli Baladewa-521 mengumumkan lewat pengeras suara bahwa kapal-kapal nelayan dilarang merapat di Benoa. Kapal-kapal jukung itu pun melepas "Rainbow Warrior". Tinggal kapal buatan tahun 1957 milik Greenpeace itu yang terus merapat di Benoa. "Ya, kami memang ingin menunjukkan bahwa perubahan iklim juga sangat terkait dengan kehidupan di laut, kehidupan para nelayan," kata Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Emmy Hafild tentang pesan dari kalimat di poster-poster tersebut. Meningkatnya temperatur bumi, katanya, juga terbukti merusak ekosistem terumbu karang, tempat ikan-ikan berkembang biak dan mencari makan. Yang paling merasakan kerusakan itu, katanya, adalah para nelayan. Menurut dia, kenyataan seperti ini tidak boleh dilupakan oleh mereka yang sedang berunding dalam konferensi tentang iklim. Siaran pers Greenpeace juga mengutip pernyataan seorang nelayan yang menyebutkan bahwa mereka telah merasakan dampak dari perubahan iklim. "Nelayan-nelayan di Bali sudah terkena dampak perubahan iklim. Terumbu karang mulai banyak yang mati dan akan mempengaruhi mata pencaharian kami. Kami khawatir pula akan ancaman naiknya air laut," kata seorang nelayan, Wayan Tudjana yang ikut dalam aksi itu. Itulah sebabnya, kata Emmy, pihaknya ingin menyerukan kepada para delegasi yang sedang bersidang di UNFCCC) bahwa bumi memerlukan tindakan nyata terhadap perubahan iklim. Menjawab pers, Emmy mengatakan, awak "Rainbow Warrior" tidak memiliki rencana melakukan aksi dramatis atau sensasional untuk menarik perhatian delegasi dari seratusan negara dalam konferensi itu. "Ini cara kami menghormati pemerintah Indonesia yang bertindak selaku tuan rumah," katanya. Kini, kapal itu bersandar di dermaga Pelabuhan Benoa. Menurut rencana, para awak kapal itu, Sabtu (8/12) akan ikut dalam aksi "Global Day of Action" yaitu aksi gabungan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat dunia yang sedang berkumpul di Bali untuk mendesak adanya tindakan terhadap perubahan iklim. Kapal itu juga akan membuka pintu bagi umum yang ingin melihat kapal legendaris itu. Kapal yang kini berlabuh di Benoa itu adalah kapal kedua milik Greenpeace setelah kapal pertama mereka, dengan nama yang sama, ditenggelamkan dinas rahasia Prancis di Pelabuhan Auckland, Selandia Baru, 10 Juli 1985 ketika LSM itu sedang menentang percobaan nuklir Prancis di Pulau Muroroa, sekitar Polynesia. Kapal pertama itu pernah juga ke Indonesia. "Rainbow Warrior" yang berlabuh di Bali itu mulai digunakan Greenpeace pada 1989. Kapal itu digunakan Greenpeace untuk melakukan aksi menentang perusakan lingkungan. Organisasi itu juga memiliki dua kapal lain, "Arctic Sunrise" dan "Esperanza", yang khusus dioperasikan bagi kegiatan mereka di bumi utara hingga kutub. Ini adalah kedatangan "Rainbow Warrior" yang ketujuh kali ke Indonesia sejak yang pertama pada 1985. Pada perjalananya di sekitar Papua, Maret-april 2006, kapal itu sempat berunjuk rasa di depan kapal kargo MV Ardhianto yang sedang memuat kayu lapis dari pabrik Henrison Iriana. Setelah dari Papua, kapal itu tiba di Jakarta dan merapat di Tanjung Priok dan mendapat sambutan antusias dari berbagai kalangan. Setahun kemudian, kapal itu kembali ke Indonesia. "Rainbow Warrior" ketika itu beraksi di dekat Pelabuhan Dumai, Riau, pertengahan November 2007, untuk memantau kegiatan kapal-kapal tanker yang akan mengekspor minyak kelapa sawit. Dumai dikenal sebagai pelabuhan curah minyak sawit mentah terbesar di Indonesia. Dari Dumai, kapal itu kembali ke Jakarta, dan kembali membuka pintu untuk umum. Sebelum tiba di Benoa, Bali, dan membentangkan spanduk besar di tiang layarnya yang bertuliskan "Climate Action Now", kapal itu berlabuh di Pelabuhan Kartini, Jepara. (*)