Saumlaki (ANTARA) - Elkana Amarduan, begitulah nama seorang pria warga Desa Eliasa, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), Provinsi Maluku.

Akrab disapa Eli, tanpa ada upah pria yang kini berusia 62 tahun ini setia menjaga menara suar yang berada tepat di Desa Eliasa, Pulau Selaru, perbatasan Republik Indonesia (RI) - Australia.

"Sudah 23 tahun saya jaga dua aset negara ini, menara suar dan tapal batas, tanpa digaji baik dari pemerintah desa maupun pihak mana saja. Saya lakukan ini dengan suka rela," ungkapnya, di Desa Eliasa, Kecamatan Selaru, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), Provinsi Maluku, Rabu.

Menurut dia, awalnya dia diberikan tanggung jawab oleh Kepala Dusun Eliasa kala itu untuk menjaga menara berukuran 35 meter dan diameter 6 itu.

Menara suar milik Kementerian Perhubungan RI itu dibangun pada 1996 dan rampung pada 1997, setahun kemudian lampu suar dinyalakan.

Namun, selama itu juga pagar menara tersebut digembok dan baru diresmikan oleh Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura Mayjen TNI. Agustadi Sasongko Purnomo pada 17 Agustus 2003.

Di lain sisi, Pemerintah Desa Eliasa berencana akan menarik kunci suar tersebut dari Eli dan menghargainya dengan upah menjual karcis.

Meski masih belum rela, ia berharap sedikit perhatian pemerintah atas jerih lelahnya selama puluhan tahun. Apalagi aset negara itu dibangun di atas lahan (dusun) miliknya.

"Insyaallah jika memang terjawab seperti itu. Tapi kalau dari pemerintah baik dari Kabupaten sampai ke pusat tidak perhatikan juga. Biarlah saya bertahan apa adanya. Sebab menara ini dibangun diatas petuanan dan didalam dusun saya,” katanya.

Meski pemerintah belum memperhatikannya, Eli tetap berkomitmen untuk menjaga dan merawat aset negara itu dan mencegahnya dari tangan-tangan jahil.

"Saya harus mengambil inisiatif, jangan sampai segelintir orang yang merencanakan kejahatan terhadap kedua aset ini, maka pasti saya yang dituduh. Saya merasa punya tanggung jawab sejak 1998 sampai hari ini. Karena kepercayaan yang diberikan dari Kepala Dusun untuk saya," sambung dia.

Desa Eliasa namanya, identik dengan menara mercusuar. Dari atas menara itu, kita bisa melihat siluet Kota Darwin (Australia) ketika air laut surut.

Saat di lokasi menara, terlihat beberapa gazebo telah dibangun. Menurut Eli, itu dibangun oleh majelis gereja setempat atas koordinasi bersama dengan pemerintah desa.

Sampai saat ini lahan milik Eli Amarduan belum pernah dilakukan pembebasan. Saat itu, hanya diberikan uang sirih pinang sebanyak Rp50.000 kepada tiga adik kakak yang berada di desa Lingat, Werain dan Eliasa.

Sejak dibangun sampai saat ini, tak ada perhatian dari Pemerintah.

“Hanya saya sendiri yang jaga dan amankan aset ini.” akuinya.

Sejauh ini, kata Eli belum ada retribusi bagi pengunjung yang datang ke kawasan itu.

Mantan Kepala Desa Eliasa, Rudi Amarduan yang dihubungi di tempat terpisah mengakui bahwa kunci menara suar itu baru diserahkan secara resmi kepada Eli Amarduan saat Rudi menjabat sebagai Kades waktu itu.

"Waktu tahun 1998 itu desa Eliasa masih status dusun. Sebelumnya pagar menara di gembok mati. Lalu kunci dikasih ke Pak Eli itu pada tahun 2014 setelah rehab berat," terangnya.

Sementara itu, Sekretaris Desa Eliasa Thomas Entamoi yang dikonfirmasi mengaku telah berencana akan menarik kunci dari Elkana demi memudahkan jika ada kunjungan.

"Maksud Pemerintah Desa mau ambil itu menjaga kemungkinan ada tamu seperti ini, kita tidak cari-cari dia (Bapak Eli, red) lagi," sambungnya.

Sekdes mengaku, dalam beberapa kali pertemuan sudah diputuskan untuk ambil kunci dengan pertimbangan dibuat karcis dari desa lalu dipercayakan kepada Eli untuk menjual kepada para pengunjung.

“Nanti setiap bulan baru dipertanggungjawabkan kepada pemerintah desa,” tambahnya.

Rencananya, pemberlakuan karcis itu mulai berjalan awal Mei 2019.