BIG: Kebijakan satu peta dorong penyelesaian konflik agraria
7 Mei 2019 22:01 WIB
Presiden Jokowi ketika meluncurkan Geoportal Kebijakan Satu Peta dan Buku Kemajuan Infrastruktur Nasional 2018 di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (11/12/2018). (ANTARA/Agus Salim) (ANTARA/Agus Salim/)
Jakarta (ANTARA) - Badan Informasi Geospasial (BIG) mengatakan Kebijakan Satu Peta akan mencegah terjadinya tumpang tindih perizinan dan penyelesaian konflik agraria.
"Melalui Kebijakan Satu Peta, seluruh informasi geospasial tematik yang dibuat kementerian dan lembaga sudah mengacu pada satu georeferensi, satu data base, satu standar dan satu portal sehingga tidak akan terjadi konflik tumpang tindih perizinan serta konflik pemanfaatan ruang," kata Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik BIG Lien Rosalina kepada Antara, Jakarta, Selasa.
Lien menuturkan Kebijakan Satu Peta sudah terintegrasi untuk 83 tema Informasi Geospasial Tematik (IGT) dari 85 IGT, sementara yang belum terintegrasi adalah IGT Rencana Tata Ruang Laut Nasional dan IGT Batas Administrasi Desa/Kelurahan.
"Saat ini sudah proses sinkronisasi atas tumpang tindih antar IGT," ujarnya.
Lien menuturkan saat ini sudah dihasilkan Peta Indikasi Tumpang Tindih Izin (PITTI) Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.
Dia menuturkan pada 2019, Peta PITTI untuk semua pulau ditargetkan selesai termasuk Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa dan Papua, yang akan diselesaikan secara bertahap.
"Draft PITTI ditargetkan selesai Mei 2019. Kemudia, PITTI akan ditetapkan dengan Keputusan Menko Perekonomian," ujarnya.
Sementara itu, peneliti Geografi dan Tata Ruang Badan Informasi Geospasial (BIG) Yosef Prihanto mengatakan kebijakan satu peta dapat lebih memberi kepastian acuan dalam penyelesaian masalah agraria.
"Karena dengan peta acuan yang sama maka identifikasi masalah dan pencarian solusinya dapat lebih baik," ujarnya.
Selain itu, menurut Yosef, basis data agraria tentunya dapat menjadi lebih baik karena risiko tumpang tindih status lahan dapat dihindari. Di samping itu, kepastian hukum atas status lahan dapat dijamin lebih baik oleh negara.
Dengan kebijakan memanfaatkan satu peta dasar yang sama, maka para pemangku kepentingan di bidang agraria akan memiliki kesamaan cara pandang dalam melihat objek agraria.
"Kesamaan ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya konflik agraria dimasa depan. Kesamaan acuan ini juga mendukung tertib administrasi agraria yang secara langsung berdampak pada keberhasilan pelaksanaan dan monitoring rencana pemanfaatan ruang wilayah," ujarnya.
****3***
"Melalui Kebijakan Satu Peta, seluruh informasi geospasial tematik yang dibuat kementerian dan lembaga sudah mengacu pada satu georeferensi, satu data base, satu standar dan satu portal sehingga tidak akan terjadi konflik tumpang tindih perizinan serta konflik pemanfaatan ruang," kata Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik BIG Lien Rosalina kepada Antara, Jakarta, Selasa.
Lien menuturkan Kebijakan Satu Peta sudah terintegrasi untuk 83 tema Informasi Geospasial Tematik (IGT) dari 85 IGT, sementara yang belum terintegrasi adalah IGT Rencana Tata Ruang Laut Nasional dan IGT Batas Administrasi Desa/Kelurahan.
"Saat ini sudah proses sinkronisasi atas tumpang tindih antar IGT," ujarnya.
Lien menuturkan saat ini sudah dihasilkan Peta Indikasi Tumpang Tindih Izin (PITTI) Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.
Dia menuturkan pada 2019, Peta PITTI untuk semua pulau ditargetkan selesai termasuk Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa dan Papua, yang akan diselesaikan secara bertahap.
"Draft PITTI ditargetkan selesai Mei 2019. Kemudia, PITTI akan ditetapkan dengan Keputusan Menko Perekonomian," ujarnya.
Sementara itu, peneliti Geografi dan Tata Ruang Badan Informasi Geospasial (BIG) Yosef Prihanto mengatakan kebijakan satu peta dapat lebih memberi kepastian acuan dalam penyelesaian masalah agraria.
"Karena dengan peta acuan yang sama maka identifikasi masalah dan pencarian solusinya dapat lebih baik," ujarnya.
Selain itu, menurut Yosef, basis data agraria tentunya dapat menjadi lebih baik karena risiko tumpang tindih status lahan dapat dihindari. Di samping itu, kepastian hukum atas status lahan dapat dijamin lebih baik oleh negara.
Dengan kebijakan memanfaatkan satu peta dasar yang sama, maka para pemangku kepentingan di bidang agraria akan memiliki kesamaan cara pandang dalam melihat objek agraria.
"Kesamaan ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya konflik agraria dimasa depan. Kesamaan acuan ini juga mendukung tertib administrasi agraria yang secara langsung berdampak pada keberhasilan pelaksanaan dan monitoring rencana pemanfaatan ruang wilayah," ujarnya.
****3***
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019
Tags: