Jakarta (ANTARA) - Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan institusinya telah mengantisipasi adanya gangguan keamanan pasca-pelaksanaan Pemilu serentak 2019, salah satunya potensi anarkis masyarakat yang tidak bisa menerima hasil Pemilu.

"Akibat situasi tidak bisa terkendali maka stabilitas keamanan akan terganggu. Ini bisa terjadi ketika pihak-pihak yang bersaing tidak bisa kendalikan diri dan ada aktor yang menopangnya," kata Hadi dalam Rapat Komite 1 DPD RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

Hadi mengatakan setelah pelaksanaan Pemilu 2019, pihaknya memprediksi munculnya keberatan terhadap hasil penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hal itu menurut dia terlihat dari munculnya ungkapan ketidakpuasan dan dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu meskipun penyelenggara mengatakan tidak ada kecurangan.

"Lalu diprediksi adanya unjuk rasa bahkan penyerangan kantor KPU dan Bawaslu, selain itu hoaks di medsos akan meningkat. Selain itu polarisasi yang terbentuk identitas primordial suku dan agama bisa menimbulkan anarkisme massa," ujarnya.

Menurut Hadi, TNI dengan berbagai satuannya sudah mengambil langkah antisipatif, misalnya, mengumpulkan data potensi konflik dan pengerahan massa.

Selain itu dia menjelaskan, pihaknya membangun pembinanaan teritorial untuk membangun kedewasaan politik di masyarakat yaitu dengan peran Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI.

"Babinsa menyampaikan bahwa perbedaan politik merupakan hal yang normal sehingga tidak perlu memusuhi. Apabila tidak percaya pada penyelenggara Pemilu maka kehidupan demokrasi Indonesia mundur," katanya.

Dia mengingatkan hendaknya masyarakat berkaca pada negara tertentu, yang sebelumnya damai dan berkecukupan, namun saat ini terkoyak-koyak karena perang saudara.

Karena itu menurut dia, peran warga negara sangat penting untuk memberikan pemahaman dan kedewasaan dalam berpolitik.