Dalang pelopori pesan toleransi di Pakistan
7 Mei 2019 11:20 WIB
Para siswi belajar di sebuah sekolah menengah atas negeri khusus putri di Mingora, Lembah Swat, Pakistan, Sabtu (11/10). Beberapa jam setelah Malala Yousafzai dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian Jumat kemarin, warga di kampung halamannya bergembira merayakan perempuan muda dari lingkungan konservatif mereka telah memenangkan pengakuan internasional atas perjuangannya untuk hak pendidikan bagi perempuan. (REUTERS/Faisal Mahmood )
Karachi, Pakistan (ANTARA) - Di lorong sempit satu permukiman di Kota Karachi, Pakistan, yang dikenal karena narkotika, perang geng dan angka melek huruf yang rendah, anak-anak belajar mengenai perdamaian, cinta dan toleransi antar-agama dari wayang.
Saat tirai terbuka di panggung, seorang dalang bercerita mengenai kisah "Sinbad Si Pelaut", pahlawan asal Timur Tengah dan perjalanannya keliling dunia. Selama pelayarannya ia bertemu dengan orang dari bermacam kepercayaan, bahasa dan agama --yang seringkali tidak memiliki banyak toleransi satu dengan yang lain.
"Seorang lelaki sekarang dan kalian berbicara mengenai kasta," kata wayang protagonis, sebagaimana dilaporkan Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa. Ia mengecam boneka lain yang tak ingin menyelamatkan tokoh wayang lain yang tewas-tenggelam sebab tokoh itu berasal dari kasta yang lebih rendah.
"Kalian mesti malu menyebut diri kalian manusia. Manusia menyelamatkan manusia bukan kasta," kata Sinbad.
Penulis naskah Nouman Mehmood mengatakan cerita tersebut muncul di benaknya ketika kelompoknya melakukan kegiatan kesadaran pendidikan di permukiman miskin di kota itu.
Mereka memperhatikan antagonisme agama dan etnik di permukiman itu dan memutuskan untuk menciptakan pertunjukan guna menyebarkan pesan perdamaian, toleransi dan keharmonisan.
Pakistan, negara dengan 200 warga --yang mayoritas Muslim, telah menyaksikan serangan yang berulangkali kali terjadi terhadap gereja, kuil Hindu dan tempat suci Sufi dalam beberapa tahun belakangan oleh kelompok gari keras.
Sekolah konservatif biasa dituding menyebarkan radikalisme tapi semua itu seringkali menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang tersedia buat jutaan anak miskin, sehingga pesan pilihan menjadi sangat penting.
"Yang mendasar adalah penerimaan. Orang mesti memiliki cukup ruang untuk menerima orang lain tak peduli apakah ia Kristen, tanpa mempertimbangkan apakah ia penganut Hindu, tanpa mempertimbangkan apakah ia pemeluk Sikh," kata Mehmood.
Pertunjukan itu, yang diselenggarakan oleh Thespianz Theatre, berencana untuk melakukan perjalanan ke permukiman miskin lain di Karachi dan provinsi setelah pementasan di Permukiman Lyari, yang keras, di Karachi.
"Ada pesan bahwa kita tak boleh mencampuri urusan agama lain. Kita mesti saling membantu," kata pelajar kelas delapan, Adul Rahim Arshad, setelah nonton pertunjukan tersebut.
"Jika seseorang menipu kita, kita tak boleh balas menipu dia. Malah kita mesti membantu dia," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Dalang tampilkan wayang kulit berbahasa Perancis
Baca juga: Pakistan serukan perdamaian dengan India saat unjuk kekuatan
Baca juga: Presiden Pakistan: perdamaian dunia tak bisa dicapai dengan penyebaran kebencian terhadap MuslimBaca juga: Aktivis India dan remaja Pakistan menangi Nobel Perdamaian
Saat tirai terbuka di panggung, seorang dalang bercerita mengenai kisah "Sinbad Si Pelaut", pahlawan asal Timur Tengah dan perjalanannya keliling dunia. Selama pelayarannya ia bertemu dengan orang dari bermacam kepercayaan, bahasa dan agama --yang seringkali tidak memiliki banyak toleransi satu dengan yang lain.
"Seorang lelaki sekarang dan kalian berbicara mengenai kasta," kata wayang protagonis, sebagaimana dilaporkan Reuters --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa. Ia mengecam boneka lain yang tak ingin menyelamatkan tokoh wayang lain yang tewas-tenggelam sebab tokoh itu berasal dari kasta yang lebih rendah.
"Kalian mesti malu menyebut diri kalian manusia. Manusia menyelamatkan manusia bukan kasta," kata Sinbad.
Penulis naskah Nouman Mehmood mengatakan cerita tersebut muncul di benaknya ketika kelompoknya melakukan kegiatan kesadaran pendidikan di permukiman miskin di kota itu.
Mereka memperhatikan antagonisme agama dan etnik di permukiman itu dan memutuskan untuk menciptakan pertunjukan guna menyebarkan pesan perdamaian, toleransi dan keharmonisan.
Pakistan, negara dengan 200 warga --yang mayoritas Muslim, telah menyaksikan serangan yang berulangkali kali terjadi terhadap gereja, kuil Hindu dan tempat suci Sufi dalam beberapa tahun belakangan oleh kelompok gari keras.
Sekolah konservatif biasa dituding menyebarkan radikalisme tapi semua itu seringkali menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang tersedia buat jutaan anak miskin, sehingga pesan pilihan menjadi sangat penting.
"Yang mendasar adalah penerimaan. Orang mesti memiliki cukup ruang untuk menerima orang lain tak peduli apakah ia Kristen, tanpa mempertimbangkan apakah ia penganut Hindu, tanpa mempertimbangkan apakah ia pemeluk Sikh," kata Mehmood.
Pertunjukan itu, yang diselenggarakan oleh Thespianz Theatre, berencana untuk melakukan perjalanan ke permukiman miskin lain di Karachi dan provinsi setelah pementasan di Permukiman Lyari, yang keras, di Karachi.
"Ada pesan bahwa kita tak boleh mencampuri urusan agama lain. Kita mesti saling membantu," kata pelajar kelas delapan, Adul Rahim Arshad, setelah nonton pertunjukan tersebut.
"Jika seseorang menipu kita, kita tak boleh balas menipu dia. Malah kita mesti membantu dia," katanya.
Sumber: Reuters
Baca juga: Dalang tampilkan wayang kulit berbahasa Perancis
Baca juga: Pakistan serukan perdamaian dengan India saat unjuk kekuatan
Baca juga: Presiden Pakistan: perdamaian dunia tak bisa dicapai dengan penyebaran kebencian terhadap MuslimBaca juga: Aktivis India dan remaja Pakistan menangi Nobel Perdamaian
Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019
Tags: