Ilmuwan IPBES: sejuta spesies flora dan fauna terancam punah
6 Mei 2019 22:16 WIB
Jamur Menyala atau Glowing Mushrooms (The mushroom Mycena silvaelucens) terlihat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Cikaniki, Bogor, Jawa Barat. Flora jenis ini baru terdapat di tujuh lokasi hutan di Indonesia yang berhasil ditemukan seperti TNG Rinjani NTB, Gunung Meja Papua, TNG Palung Kalbar, TNG leuser Aceh, TNG Kerinci Sumatra, TNG Tanjung Puting Kalteng dan TNG Halimun-Salak. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Jakarta (ANTARA) - Laporan terbaru dari Platform Sains-Kebijakan Antarpemerintah tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services/IPBES) menyebut sekitar 1.000.000 spesies hewan dan tumbuhan semakin terancam punah dalam beberapa dekade.
Ringkasan laporan terbaru yang disetujui pada sesi ke-7 Pleno IPBES yang berlangsung pada 29 April hingga 4 Mei 2019 di Paris, Prancis, tersebut berdasarkan peninjauan sistematis sekitar 15.000 sumber ilmiah dan pemerintah. Laporan tersebut, untuk pertama kalinya juga menggambarkan pengetahuan masyarakat adat dan lokal, khususnya masalah yang relevan dengan keberadaan dan kondisi mereka.
Ketua IPBES Sir Robert Watson dalam keterangan tertulis diterima Antara di Jakarta, Senin mengatakan bukti luar biasa dari Penilaian Global IPBES, dari berbagai bidang pengetahuan yang berbeda telah menghadirkan gambaran yang tidak menyenangkan.
“Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung hidup memburuk lebih cepat daripada sebelumnya. Kita mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, keamanan pangan, kesehatan dan kualitas hidup kita di seluruh dunia,” katanya.
Prof Sandra Díaz dari Argentina yang ikut memimpin penilaian dengan Prof Josef Settele dari Jerman dan Prof Eduardo S Brondízio dari Brasil dan AS mengatakan kontribusi keanekaragaman hayati dan alam bagi manusia adalah warisan bersama dan “jaring pengaman” yang mendukung kehidupan manusia. Namun “jaring” tersebut sudah merenggang hampir mencapai titik puncaknya.
"Keragaman dalam spesies, antara spesies dan ekosistem, serta banyak kontribusi mendasar yang kita peroleh dari alam, menurun dengan cepat, meskipun kita masih memiliki kesempatan untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi manusia dan planet ini,” ujar dia.
Kelimpahan rata-rata spesies asli di sebagian besar habitat berbasis daratan telah berkurang setidaknya 20 persen, sebagian besar terjadi sejak 1900. Lebih dari 40 persen spesies amfibi, hampir 33 persen karang pembentuk terumbu dan lebih dari sepertiga dari semua mamalia laut juga terancam.
Gambaran kurang jelas untuk spesies serangga, tetapi bukti yang tersedia mendukung perkiraan sementara 10 persen terancam. Setidaknya 680 spesies vertebrata telah punah sejak abad ke-16 dan lebih dari sembilan persen dari semua mamalia jinak yang digunakan untuk pangan dan pertanian telah punah pada 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain masih terancam.
Ekosistem, spesies, populasi satwa liar, varietas lokal dan jenis tumbuhan dan hewan peliharaan menyusut, memburuk dan menghilang. Kehilangan ini sebagai dampak langsung dari aktivitas manusia dan merupakan ancaman langsung terhadap kesejahteraan manusia di semua wilayah di dunia, kata Prof Settele.
Perubahan transformatif
Laporan ini juga memberitahukan bahwa belum terlambat untuk membuat perubahan, tetapi hanya jika dimulai dari sekarang di setiap tingkatan lokal hingga global, ujar Watson.
Melalui perubahan transformatif, alam masih dapat dilestarikan, dipulihkan, dan digunakan secara berkelanjutan, ini juga merupakan kunci untuk memenuhi sebagian besar tujuan global lainnya. “Dengan perubahan transformatif, yang kami maksud adalah reorganisasi mendasar dan sistem secara luas di seluruh faktor teknologi, ekonomi dan sosial, termasuk paradigma, tujuan, dan nilai-nilai,” ujar Watson.
Ringkasan laporan terbaru yang disetujui pada sesi ke-7 Pleno IPBES yang berlangsung pada 29 April hingga 4 Mei 2019 di Paris, Prancis, tersebut berdasarkan peninjauan sistematis sekitar 15.000 sumber ilmiah dan pemerintah. Laporan tersebut, untuk pertama kalinya juga menggambarkan pengetahuan masyarakat adat dan lokal, khususnya masalah yang relevan dengan keberadaan dan kondisi mereka.
Ketua IPBES Sir Robert Watson dalam keterangan tertulis diterima Antara di Jakarta, Senin mengatakan bukti luar biasa dari Penilaian Global IPBES, dari berbagai bidang pengetahuan yang berbeda telah menghadirkan gambaran yang tidak menyenangkan.
“Kesehatan ekosistem tempat kita dan semua spesies lain bergantung hidup memburuk lebih cepat daripada sebelumnya. Kita mengikis fondasi ekonomi, mata pencaharian, keamanan pangan, kesehatan dan kualitas hidup kita di seluruh dunia,” katanya.
Prof Sandra Díaz dari Argentina yang ikut memimpin penilaian dengan Prof Josef Settele dari Jerman dan Prof Eduardo S Brondízio dari Brasil dan AS mengatakan kontribusi keanekaragaman hayati dan alam bagi manusia adalah warisan bersama dan “jaring pengaman” yang mendukung kehidupan manusia. Namun “jaring” tersebut sudah merenggang hampir mencapai titik puncaknya.
"Keragaman dalam spesies, antara spesies dan ekosistem, serta banyak kontribusi mendasar yang kita peroleh dari alam, menurun dengan cepat, meskipun kita masih memiliki kesempatan untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi manusia dan planet ini,” ujar dia.
Kelimpahan rata-rata spesies asli di sebagian besar habitat berbasis daratan telah berkurang setidaknya 20 persen, sebagian besar terjadi sejak 1900. Lebih dari 40 persen spesies amfibi, hampir 33 persen karang pembentuk terumbu dan lebih dari sepertiga dari semua mamalia laut juga terancam.
Gambaran kurang jelas untuk spesies serangga, tetapi bukti yang tersedia mendukung perkiraan sementara 10 persen terancam. Setidaknya 680 spesies vertebrata telah punah sejak abad ke-16 dan lebih dari sembilan persen dari semua mamalia jinak yang digunakan untuk pangan dan pertanian telah punah pada 2016, dengan setidaknya 1.000 jenis lain masih terancam.
Ekosistem, spesies, populasi satwa liar, varietas lokal dan jenis tumbuhan dan hewan peliharaan menyusut, memburuk dan menghilang. Kehilangan ini sebagai dampak langsung dari aktivitas manusia dan merupakan ancaman langsung terhadap kesejahteraan manusia di semua wilayah di dunia, kata Prof Settele.
Perubahan transformatif
Laporan ini juga memberitahukan bahwa belum terlambat untuk membuat perubahan, tetapi hanya jika dimulai dari sekarang di setiap tingkatan lokal hingga global, ujar Watson.
Melalui perubahan transformatif, alam masih dapat dilestarikan, dipulihkan, dan digunakan secara berkelanjutan, ini juga merupakan kunci untuk memenuhi sebagian besar tujuan global lainnya. “Dengan perubahan transformatif, yang kami maksud adalah reorganisasi mendasar dan sistem secara luas di seluruh faktor teknologi, ekonomi dan sosial, termasuk paradigma, tujuan, dan nilai-nilai,” ujar Watson.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019
Tags: