Ekonom: kenaikan tarif "ojol" bersamaan Ramadhan tingkatkan inflasi
6 Mei 2019 20:49 WIB
Konferensi pers hasil survei Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) terkait "Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online" di Jakarta, Senin. (ANTARA/Mentari Dwi Gayati)
Jakarta (ANTARA) - Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal menyayangkan momentum kenaikan tarif ojek online (ojol) yang ditetapkan sebelum Ramadhan dan berpotensi meningkatkan inflasi.
"Momennya tidak tepat karena jika terjadi kontraksi ekonomi, dampaknya akan signifikan. Kenaikan tarif yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi tingginya tingkat inflasi," kata Fithra pada konferensi pers hasil survei RISED di Jakarta, Senin.
Fithra menjelaskan komponen tarif angkutan terhadap inflasi berpotensi menyumbang inflasi mencapai 20-30 persen dari total inflasi nasional. Kemudian, jika dihitung permintaan yang ada dan faktor ekspektasi, kontribusi terhadap inflasi bisa mencapai 50 persen.
Dari hasil survei Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), sebanyak 75 persen pengguna ojol nasional menolak terhadap penetapan tarif yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) 348/2019.
Baca juga: Jumlah pemesanan turun, Gojek tetap lanjutkan tarif baru
Baca juga: YLKI: Evaluasi tarif ojol untuk lihat kepatuhan aplikator dan mitra
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa konsumen hanya bersedia mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp5.200 per hari untuk wilayah Jabodetabek.
Alasan rendahnya kesediaan konsumen membayar lebih karena 75,2 persen pengguna ojol berpendapatan menengah ke bawah dengan upah umumnya tidak lebih dari Rp2,8 juta per bulan.
"Kita berurusan dengan karakter konsumen berpendapatan menengah. Kalau ada kenaikan Rp1 saja dari budget mereka, mereka akan berpikir 2-3 kali. Sehingga jika terjadi kenaikan, mereka cari transportasi alternatif," kata Fithra.
Menurut Fithra, pemerintah sebaiknya mengevaluasi kebijakan ini dan hanya menjaga ekosistem operasional ojek online agar tidak terjadi perang harga. Pemerintah dapat berkonsentrasi pada konsumen yang terbebani dengan tarif baru ini.
"Di jangka menengah dan panjang, driver akan kehilangan konsumen. Gejala awal saja sudah terjadi, ada penurunan order. Secara alamiah, mereka akan cari transportasi yang lebih murah, meskipun tidak lebih cepat dan tidak lebih nyaman," katanya.
Baca juga: Baru berlaku, Kemenhub akan evaluasi tarif ojek daring
Baca juga: YLKI: Kenaikan tarif ojol harus diikuti peningkatan keselamatan
"Momennya tidak tepat karena jika terjadi kontraksi ekonomi, dampaknya akan signifikan. Kenaikan tarif yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi tingginya tingkat inflasi," kata Fithra pada konferensi pers hasil survei RISED di Jakarta, Senin.
Fithra menjelaskan komponen tarif angkutan terhadap inflasi berpotensi menyumbang inflasi mencapai 20-30 persen dari total inflasi nasional. Kemudian, jika dihitung permintaan yang ada dan faktor ekspektasi, kontribusi terhadap inflasi bisa mencapai 50 persen.
Dari hasil survei Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), sebanyak 75 persen pengguna ojol nasional menolak terhadap penetapan tarif yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) 348/2019.
Baca juga: Jumlah pemesanan turun, Gojek tetap lanjutkan tarif baru
Baca juga: YLKI: Evaluasi tarif ojol untuk lihat kepatuhan aplikator dan mitra
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa konsumen hanya bersedia mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp5.200 per hari untuk wilayah Jabodetabek.
Alasan rendahnya kesediaan konsumen membayar lebih karena 75,2 persen pengguna ojol berpendapatan menengah ke bawah dengan upah umumnya tidak lebih dari Rp2,8 juta per bulan.
"Kita berurusan dengan karakter konsumen berpendapatan menengah. Kalau ada kenaikan Rp1 saja dari budget mereka, mereka akan berpikir 2-3 kali. Sehingga jika terjadi kenaikan, mereka cari transportasi alternatif," kata Fithra.
Menurut Fithra, pemerintah sebaiknya mengevaluasi kebijakan ini dan hanya menjaga ekosistem operasional ojek online agar tidak terjadi perang harga. Pemerintah dapat berkonsentrasi pada konsumen yang terbebani dengan tarif baru ini.
"Di jangka menengah dan panjang, driver akan kehilangan konsumen. Gejala awal saja sudah terjadi, ada penurunan order. Secara alamiah, mereka akan cari transportasi yang lebih murah, meskipun tidak lebih cepat dan tidak lebih nyaman," katanya.
Baca juga: Baru berlaku, Kemenhub akan evaluasi tarif ojek daring
Baca juga: YLKI: Kenaikan tarif ojol harus diikuti peningkatan keselamatan
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Apep Suhendar
Copyright © ANTARA 2019
Tags: