Nusa Dua (ANTARA News) - Presiden Konferensi para pihak PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties to UNFCCC) ke-13 Rachmat Witoelar menegaskan bahwa perubahan iklim lebih dirasakan negara-negara miskin dan paling miskin. "Perubahan iklim akan mengancam kemampuan kami memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (MDG) dan mengangkat negara-negara miskin ini dari kemiskinan," kata Rachmat yang juga Menteri Lingkungan Hidup RI di depan ribuan peserta konferensi yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Senin. Kesulitan ekonomi, lanjut dia, membuat ketakutan atas perubahan iklim yang akan menuntut biaya begitu banyak daripada yang dapat ditanggung, karena bagaimanapun biayanya tak akan sebanding dengan Produk Domestik Bruto (GDP) negara-negara miskin tersebut. "Biaya untuk mengatasi ini memang signifikan, tetapi menjadi kecil artinya jika dibandingkan dengan kerusakan akibat perubahan iklim yang tak terkontrol yang mengantar pada kehancuran," katanya. Laporan UNDP minggu lalu, ujarnya, menekankan pada pentingnya tak hanya mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga bagaimana beradaptasi atas perubahan yang terjadi, termasuk terus menerus melakukan dialog mitigasi perubahan iklim, teknologi dan pendanaan. Rachmat, yang menggantikan Presiden COP ke-12 UNFCCC, David Mwiraria dari Kenya, sebelum menjadi Menteri Lingkungan Hidup RI telah berkarir sebagai Duta Besar Indonesia untuk Rusia (1993-1997) dan sempat menjadi anggota DPR RI (1971-1993) serta memimpin Komisi V dan VI. Rachmat secara aktif juga terlibat di berbagai organisasi seperti Barisan Nasional (1999), dan terlibat dalam berbagai negosiasi internasional seperti Asian International Parliamentary Organization (AIPO) pada 1983-1991 dan delegasi reguler International Parliament Union (IPU pada 1977-1990 serta terpilih menjadi Presiden Dewan Pemerintah Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2005-2007. (*)