Peningkatan kualitas produk kopi Sumsel hadapi berbagai persoalan
1 Mei 2019 15:24 WIB
Dokumen - Petani memetik buah kopi semendo yang sudah matang di area perkebunan kopi milik warga Semendo Darat Ulu Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. (Antaras News Sumsel/Feny Selly/13)
Palembang (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang Amin Rejo menyatakan guna meningkatkan kualitas produksi komoditas kopi Sumatera Selatan menghadapi berbagai persoalan terutama dari sisi prilaku yang tidak terpola dengan baik.
"Itu yang menjadi penyebab selain perhatian pemerintah terhadap pembinaan petani kopi dan fasilitas yang diberikan masih minim," kata Amin Rejo di Palembang, Rabu.
Dia menjelaskan kopi Sumsel seperti kopi 'semendo' atau 'semende' Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam adalah satu yang terbaik di Indonesia. Namun pemasarannya banyak beralih ke daerah lain seperti Lampung.
Itu terjadi sebagai dampak Provinsi Sumatera Selatan hingga kini belum memiliki pelabuhan ekspor, sehingga membuat kopi Sumsel itu seakan produk daerah lain.
Kemudian dari sisi prilaku sebagian besar petani kopi, katanya, melakukan masa panen sebelum tiba pada waktunya artinya memetik buah belum terlalu matang atau masak.
"Ada sebagian petani beralasan memetik buah kopi sebelum waktunya panen karena khawatir takut dicolong orang lain. Ini sebenarnya menjadi sebuah persoalan yang harus ditanggulangi pemerintah daerah," ujar Amin yang juga Direktur Pasca Sarjana Unsri tersebut.
Begitu juga saat menjemur biji kopi kebanyakan mereka memanfaatkan jalan umum desa, sehingga terkadang sering digilas kendaraan yang melintas di jalan.
"Kalau kendaraan sering menggilas biji kopi yang dijemur itu tentu menjadi rusak atau pecah akibatnya kualitas menjadi menurun dan harga pun menjadi kalah bersaing," kata dia.
Sementara T Puji Santoso (44), petani kopi di Desa Sinar Napalan, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, yang masuk dalam Kelompok Tani Harapan, mengatakan mereka tetap saja menerima harga pembelian di kisaran Rp18.000-Rp19.000 per kilogram.
“Ya kami tahu, kopi ini sedang booming, tapi kami juga heran kenapa harga tidak naik-naik juga, tetap begitu-begitu saja dari tengkulak,” kata Puji.
Bukan hanya dari sisi harga, dari sisi permintaan juga sama atau nyaris tidak ada peningkatan. Persoalan ini sempat ditanyakan ke tengkulak asal Lampung yang biasa membeli produk pertanian kopi di kampungnya.
Namun, jawaban yang diterima Puji tidak bisa menjelaskan keadaan tersebut.
“Mereka (tengkulak) mengatakan ya memang seperti itu, yang beli dari sana tetap beli segitu,” ujar Puji.
Penetapan harga dari tengkulak ini membuat Puji tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hampir 90 hidupnya tergantung dengan tengkulak, yang menjadi sosok utama dalam rantai distribusi kopi di desanya.
Kebutuhan mulai dari pembelian pupuk, biaya panen (bayar tenaga kerja), hingga kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, telur, minyak kelapa itu semuanya diberikan tengkulak. Posisi tawar petani sangat rendah, bahkan harga-harga untuk kebutuhan pokok sehari-hari yang diberikan tengkulak itu jatuhnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan harga sembako di pasar tradisional.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan kenyataan yang ada di kebunnya, karena produktifitas kebun kopi terus menurun dari sekitar 2 ton ton per tahun menjadi hanya sekitar 800-900 kilogram per tahun untuk setiap hektare. Ini terjadi pada dua hektare lahan kopi milik Puji sejak satu dekade terakhir.
Penurunan produksi ini diduga karena massif penggunaan pupuk kimia sehingga menyebabkan kerusakan tanah tak terbendung lagi. Selain itu, tanaman kopinya juga sudah berusia di atas 25 tahun, yang artinya membutuhkan peremajaan. Menurutnya, hal ini juga dialami sebagian besar petani kopi di desanya, yang berjarak sekitar 1,5 jam menuju Way Kanan, Lampung.
Hartama (52), pekebun kopi lainnya di desa tersebut yang juga menjadi bendahara Kelompok Tani Napalan Makmur mengatakan, karena itu petani juga menanam yang lain seperti karet, sayuran, jengkol, sawit, lada, kakao, dan palawija untuk menyambung hidup. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga kopi juga tak kunjung terkerek naik, yakni hanya Rp18.000-Rp19.000 per kilogram, bahkan pada tahun 2018 pernah berada di harga Rp17.000 per kilogram.
"Capek sekali jadi petani ini, yang mana dapatnya saja seperti menjaring ikan. Ada yang bisa dipanen harian, ya diambil, bulanan, tahunan, ya diambil juga untuk menyambung hidup," kata dia.
Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang sempat menyejahterakan masyarakat di kawasan perbukitan di Sumatera Selatan seperti di OKU Selatan, Pagaralam, dan Lahat karena harganya yang cukup tinggi ketika dijual ke pengepul.
Kopi asal Sumsel yang dikenal dengan sebutan kopi Semende, kopi lahat, kopi Pagaralam sudah diekspor ke berbagai belahan dunia, konon sejak zaman penjajahan Belanda.
Baca juga: Kedai kopi "booming", petani tiarap
Baca juga: Brand Kopi Sumsel disayangkan kurang muncul
"Itu yang menjadi penyebab selain perhatian pemerintah terhadap pembinaan petani kopi dan fasilitas yang diberikan masih minim," kata Amin Rejo di Palembang, Rabu.
Dia menjelaskan kopi Sumsel seperti kopi 'semendo' atau 'semende' Kabupaten Lahat dan Kota Pagaralam adalah satu yang terbaik di Indonesia. Namun pemasarannya banyak beralih ke daerah lain seperti Lampung.
Itu terjadi sebagai dampak Provinsi Sumatera Selatan hingga kini belum memiliki pelabuhan ekspor, sehingga membuat kopi Sumsel itu seakan produk daerah lain.
Kemudian dari sisi prilaku sebagian besar petani kopi, katanya, melakukan masa panen sebelum tiba pada waktunya artinya memetik buah belum terlalu matang atau masak.
"Ada sebagian petani beralasan memetik buah kopi sebelum waktunya panen karena khawatir takut dicolong orang lain. Ini sebenarnya menjadi sebuah persoalan yang harus ditanggulangi pemerintah daerah," ujar Amin yang juga Direktur Pasca Sarjana Unsri tersebut.
Begitu juga saat menjemur biji kopi kebanyakan mereka memanfaatkan jalan umum desa, sehingga terkadang sering digilas kendaraan yang melintas di jalan.
"Kalau kendaraan sering menggilas biji kopi yang dijemur itu tentu menjadi rusak atau pecah akibatnya kualitas menjadi menurun dan harga pun menjadi kalah bersaing," kata dia.
Sementara T Puji Santoso (44), petani kopi di Desa Sinar Napalan, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, yang masuk dalam Kelompok Tani Harapan, mengatakan mereka tetap saja menerima harga pembelian di kisaran Rp18.000-Rp19.000 per kilogram.
“Ya kami tahu, kopi ini sedang booming, tapi kami juga heran kenapa harga tidak naik-naik juga, tetap begitu-begitu saja dari tengkulak,” kata Puji.
Bukan hanya dari sisi harga, dari sisi permintaan juga sama atau nyaris tidak ada peningkatan. Persoalan ini sempat ditanyakan ke tengkulak asal Lampung yang biasa membeli produk pertanian kopi di kampungnya.
Namun, jawaban yang diterima Puji tidak bisa menjelaskan keadaan tersebut.
“Mereka (tengkulak) mengatakan ya memang seperti itu, yang beli dari sana tetap beli segitu,” ujar Puji.
Penetapan harga dari tengkulak ini membuat Puji tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hampir 90 hidupnya tergantung dengan tengkulak, yang menjadi sosok utama dalam rantai distribusi kopi di desanya.
Kebutuhan mulai dari pembelian pupuk, biaya panen (bayar tenaga kerja), hingga kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, telur, minyak kelapa itu semuanya diberikan tengkulak. Posisi tawar petani sangat rendah, bahkan harga-harga untuk kebutuhan pokok sehari-hari yang diberikan tengkulak itu jatuhnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan harga sembako di pasar tradisional.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan kenyataan yang ada di kebunnya, karena produktifitas kebun kopi terus menurun dari sekitar 2 ton ton per tahun menjadi hanya sekitar 800-900 kilogram per tahun untuk setiap hektare. Ini terjadi pada dua hektare lahan kopi milik Puji sejak satu dekade terakhir.
Penurunan produksi ini diduga karena massif penggunaan pupuk kimia sehingga menyebabkan kerusakan tanah tak terbendung lagi. Selain itu, tanaman kopinya juga sudah berusia di atas 25 tahun, yang artinya membutuhkan peremajaan. Menurutnya, hal ini juga dialami sebagian besar petani kopi di desanya, yang berjarak sekitar 1,5 jam menuju Way Kanan, Lampung.
Hartama (52), pekebun kopi lainnya di desa tersebut yang juga menjadi bendahara Kelompok Tani Napalan Makmur mengatakan, karena itu petani juga menanam yang lain seperti karet, sayuran, jengkol, sawit, lada, kakao, dan palawija untuk menyambung hidup. Hal ini terpaksa dilakukan karena harga kopi juga tak kunjung terkerek naik, yakni hanya Rp18.000-Rp19.000 per kilogram, bahkan pada tahun 2018 pernah berada di harga Rp17.000 per kilogram.
"Capek sekali jadi petani ini, yang mana dapatnya saja seperti menjaring ikan. Ada yang bisa dipanen harian, ya diambil, bulanan, tahunan, ya diambil juga untuk menyambung hidup," kata dia.
Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang sempat menyejahterakan masyarakat di kawasan perbukitan di Sumatera Selatan seperti di OKU Selatan, Pagaralam, dan Lahat karena harganya yang cukup tinggi ketika dijual ke pengepul.
Kopi asal Sumsel yang dikenal dengan sebutan kopi Semende, kopi lahat, kopi Pagaralam sudah diekspor ke berbagai belahan dunia, konon sejak zaman penjajahan Belanda.
Baca juga: Kedai kopi "booming", petani tiarap
Baca juga: Brand Kopi Sumsel disayangkan kurang muncul
Pewarta: Indra Gultom
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: