Palembang (ANTARA) - Mahasiswa di Indonesia perlu berbenah pasca-Pemilu 2019 dengan memperdalam tradisi literasi agar demokrasi yang berdasarkan kebhinnekaan tetap terjaga, kata Direktur Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS) Alip Dian Permata.

Menurut Alip di Palembang, Sabtu, Pemilu 2019 masih diwarnai politik identitas, salah satu faktornya akibat pemahaman segelintir mahasiswa yang kurang membangun realitas.

"Dalam memilih arah politik, mahasiswa jangan sampai menjadi emosional sehingga menjurus pada sentimen keagamaan, apalagi politik identitas, perlu diingat bahwa Indonesia dasarnya adalah pluralisme dan kebhinnekaan," kata Alip saat bincang kebangsaan bersama Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Sumsel.

Mahasiswa dan umumnya generasi milenial, kata dia, perlu berkonsolidasi untuk membangun kembali kebhinnekaan, sebab ancaman kebhinnekaan itu sendiri datangnya dari kurang kritisnya milenial dan mahasiswa dalam menerima informasi.

Menurut dia, mahasiswa saat ini rawan menjadi generasi yang dangkal karena meninggalkan tradisi literasi berupa membaca buku, berdiskusi, dan mengklarifikasi fakta-fakta secara mandiri, efeknya bisa menghambat kemajuan demokrasi karena menjamurnya hoaks yang memecah persatuan.

"Mahasiswa saat ini posisinya menerima begitu saja dinamika demokrasi, mereka tidak ikut serta dalam proses sejarahnya, sehingga mereka cenderung kurang bisa menghargai demokrasi, ditambah juga mereka tidak membaca sejarah," kata Alip.

Ia mengatakan mahasiswa rentan kehilangan jati diri karena tidak menggunakan fungsi sosial-politik dalam isu-isu kemasyarakatan dan kebijakan pemerintah, serta tidak hadir langsung meresponsnya.

Kehilangan jati diri tersebut bisa disebabkan faktor iklim kampus yang dianggap masih memelihara sikap Orde Baru dan antikritik, secara tidak langsung juga menahan sikap demokrasi mahasiswa.

"Bisa jadi jiwa mahasiswa terkekang dengan sistem birokrasi kampus, rektorat masih sering marah ketika dikritik mahasiswa, padahal ada dialektika yang bisa jadi jalan keluar, ya kampus juga harus bersikap demokratis," katanya.

Ia berharap kalangan mahasiswa dan milenial kembali lagi ke tradisi literasi seperti para pejuang kemerdekaan yang dikenal mencintai buku, berdiskusi, dan bersedia menerima perbedaan dengan tidak memaksa supremasi identitas dalam bernegara.

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Gerakan Kebangsaan Sumatera Selatan Agus Suherman Tanjung mengatakan realita politik identitas yang menyeret mahasiswa harus segera dibenahi.

"Politik identitas berbahaya bagi demokrasi Indonesia, mahasiswa ataupun milenial yang terlibat langsung di dalam politik harus mengisi dirinya dengan kecakapan literasi, sebab jika tidak maka hoaks akan terus menjamur dan dampaknya kebhinnekaan terganggu," kata Agus.