Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menginginkan ekspor beras dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk diplomasi, seperti ke sejumlah negara yang mengalami bencana atau berpotensi menjadi pasar beras Indonesia pada masa depan.

Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman dalam keterangan tertulis, Kamis, menyatakan, komoditas beras sebagai instrumen diplomasi adalah hal yang baik dan dapat membuka celah peningkatan hubungan dengan negara-negara tersebut.

"Harapannya, beras dapat dijadikan instrumen diplomasi Indonesia kepada negara lain. Praktik ini tentunya seringkali dilakukan Indonesia dan patut dipertahankan," katanya.

Selain itu, ujar dia, perlahan dapat menjadi salah satu strategi untuk memperkenalkan beras Indonesia ke negara lain, seiring dengan adanya revisi regulasi dan juga penyesuaian standar kualitas beras yang sesuai dengan permintaan dunia.

Ia mengingatkan wacana ekspor beras yang digaungkan oleh pimpinan Bulog Budi Waseso pada Januari lalu semakin menguat karena mempertimbangkan masa panen yang akan segera berakhir. Apabila serapan beras mencapai target, maka dapat diperkirakan ada surplus sebanyak 300.000 ton beras yang berpotensi untuk diekspor.

Namun, Ilman mengingatkan bahwa potensi ekspor ini bukannya tidak memiliki tantangan, yaitu wacana ekspor beras medium berlebih berisiko bertentangan dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 1 tahun 2018 dan juga tantangan teknis seperti penyesuaian kualitas dengan permintaan di pasar internasional.

Saat ini, lanjutnya, ekspor untuk beras medium masih belum diizinkan, hanya beras premium/khusus yang boleh diekspor.

"Ketentuan ini sudah diatur di Permendag nomor 1 tahun 2018. Selain itu, kalau mengacu kepada acuan komoditas beras internasional yang dipakai oleh Bank Dunia, jenis-jenis beras yang ada memiliki derajat pecahan beras tertentu yang dijadikan standar dunia. Sehingga apabila Indonesia ingin mengekspor berasnya, harus melakukan penyesuaian terhadap kualitas tersebut atau setidaknya mencari pasar yang mau menyerap jenis beras dengan kualitas yang saat ini mampu diproduksi petani Indonesia. Kedua opsi tersebut tentunya tidak bisa memakan waktu singkat," jelas Ilman.

Ia menambahkan, dengan mempertimbangkan kedua faktor tadi, wacana untuk mengekspor surplus beras sebanyak 300.000 ton itu cukup berat untuk dilaksanakan.

Namun tentunya, menurut dia, ambisi untuk mengekspor sepatutnya ditanggapi positif, karena memang hal tersebut dapat membantu meningkatkan cadangan devisa Indonesia.