Sportainment
Harga sepatu mahal hambat perkembangan bibit atlet basket
24 April 2019 19:56 WIB
CEO dan Founder DBL Indonesia, Azrul Ananda, menjadi pembicara dalam acara seminar olahraga bertajuk Agilvy DoDebate di The Maj Jakarta, Rabu (24/4/2019). Acara tersebut menghadirkan sejumlah praktisi industri olahraga nasional. (Antara/Andi Firdaus).
Jakarta (ANTARA) - Penyelenggara kompetisi liga bola basket terbesar di Indonesia, Developmental Basketball League (DBL) mengungkap sejumlah kendala yang dihadapi bibit atlet dalam pengembangan bakat mereka.
"Salah satu kendalanya adalah harga peralatan pendukung seperti sepatu basket yang masih mahal di pasaran," kata CEO dan Founder DBL, Azrul Ananda dalam acara Ogilvy DoDebate di The Maj Jakarta, Rabu.
Harga sepatu basket profesional yang aman dan nyaman bagi konsumen di banderol seharga Rp2 juta hingga Rp3 juta per pasang. Bahkan sepatu produksi asing hasil kerja sama dengan merk Indonesia di pasaran saat ini berada di kisaran harga Rp800 ribu hingga Rp900 ribu per pasang.
Kondisi ini masih dirasa memberatkan kalangan orang tua untuk mengeluarkan kocek pembelian sepatu. Beberapa pebasket pelajar ada yang menyiasati kondisi ini dengan membeli sepatu profesional dengan kualitas palsu yang harganya relatif terjangkau, namun hal itu tidak direkomendasikan DBL karena berpotensi memicu cedera lapangan.
"Biasanya dia pakai sepatu palsu, atau orang tuanya membeli sepatu mahal yang ukurannya kebesaran di kaki anaknya supaya awet. Itu sangat bahaya, banyak yang cedera engkel karena sepatu kebesaran atau sepatu KW," katanya.
Berangkat dari kendala tersebut, DBL memperoleh solusi dengan menggandeng produsen sepatu domestik, Ardiles, untuk memproduksi sepatu basket dengan harga yang relatif terjangkau oleh uang orang tua pelajar.
"Rupanya di Surabaya ada pabrik sepatu Ardiles. Saya minta harga jangan lebih dari Rp500 ribu per pasang dengan usia pemakaian dua bulan. Lalu keluar tipe Aza 5 seharga Rp349 ribu dan Aza 6 dengan teknologi lebih maju di harga Rp460 ribu," katanya.
Menurut dia, minat masyarakat muda Indonesia terhadap olahraga relatif tinggi, namun mereka juga terkendala dengan minimnya penyelenggaraan perlombaan untuk mengekspresikan bakat mereka.
"Rata-rata satu dari sepuluh sekolah SMA di Indonesia adalah peserta DBL. Artinya masih banyak sekolah yang belum terfasilitasi panggung untuk mereka mengekspresikan bakat," katanya.
National Director Ardiles, Robert Daud, mengungkap pendapatan produsen sepatu olahraga nasional saat ini berada di kisaran Rp25 triliun per tahun. Angka tersebut diyakini bisa terdongkrak lebih tinggi lagi bila pemerintah memaksimalkan 'jaring pengaman' dari serbuan produk negara asing di pasar bebas saat ini.
Sejak Ardiles bergabung sebagai sponsor kompetisi liga bola basket terbesar di Indonesia, Developmental Basketball League (DBL), pendapatan perusahaan kian bertambah.
"Penjualan sepatu DBL Ardilles di kurun waktu Januari hingga Februari 2019 mampu mengalahkan pendapatan kami selama setahun pada 2018. 10 ribu pasang sepatu mampu kita produksi setiap bulannya," katanya.
Search Marketing Manager Google Indonesia Mira Sumanti membenarkan bahwa minat masyarakat Indonesia untuk berolahraga terbilang cukup tinggi berdasarkan penghitungan mesin pencari Google.
"Di Indonesia total pencarian olahraga di mesin Google mencapai 8 persen. Ini merupakan angka yang sangat tinggi, bila dibandingkan negara dengan sektor olahraga yang lebih maju seperti Amerika Serikat dan Brasil, mereka ada di angka 12-13 persen. Indonesia masih di atas India yang tenar dengan olahraga kriket sebesar 6 persen," katanya.
"Salah satu kendalanya adalah harga peralatan pendukung seperti sepatu basket yang masih mahal di pasaran," kata CEO dan Founder DBL, Azrul Ananda dalam acara Ogilvy DoDebate di The Maj Jakarta, Rabu.
Harga sepatu basket profesional yang aman dan nyaman bagi konsumen di banderol seharga Rp2 juta hingga Rp3 juta per pasang. Bahkan sepatu produksi asing hasil kerja sama dengan merk Indonesia di pasaran saat ini berada di kisaran harga Rp800 ribu hingga Rp900 ribu per pasang.
Kondisi ini masih dirasa memberatkan kalangan orang tua untuk mengeluarkan kocek pembelian sepatu. Beberapa pebasket pelajar ada yang menyiasati kondisi ini dengan membeli sepatu profesional dengan kualitas palsu yang harganya relatif terjangkau, namun hal itu tidak direkomendasikan DBL karena berpotensi memicu cedera lapangan.
"Biasanya dia pakai sepatu palsu, atau orang tuanya membeli sepatu mahal yang ukurannya kebesaran di kaki anaknya supaya awet. Itu sangat bahaya, banyak yang cedera engkel karena sepatu kebesaran atau sepatu KW," katanya.
Berangkat dari kendala tersebut, DBL memperoleh solusi dengan menggandeng produsen sepatu domestik, Ardiles, untuk memproduksi sepatu basket dengan harga yang relatif terjangkau oleh uang orang tua pelajar.
"Rupanya di Surabaya ada pabrik sepatu Ardiles. Saya minta harga jangan lebih dari Rp500 ribu per pasang dengan usia pemakaian dua bulan. Lalu keluar tipe Aza 5 seharga Rp349 ribu dan Aza 6 dengan teknologi lebih maju di harga Rp460 ribu," katanya.
Menurut dia, minat masyarakat muda Indonesia terhadap olahraga relatif tinggi, namun mereka juga terkendala dengan minimnya penyelenggaraan perlombaan untuk mengekspresikan bakat mereka.
"Rata-rata satu dari sepuluh sekolah SMA di Indonesia adalah peserta DBL. Artinya masih banyak sekolah yang belum terfasilitasi panggung untuk mereka mengekspresikan bakat," katanya.
National Director Ardiles, Robert Daud, mengungkap pendapatan produsen sepatu olahraga nasional saat ini berada di kisaran Rp25 triliun per tahun. Angka tersebut diyakini bisa terdongkrak lebih tinggi lagi bila pemerintah memaksimalkan 'jaring pengaman' dari serbuan produk negara asing di pasar bebas saat ini.
Sejak Ardiles bergabung sebagai sponsor kompetisi liga bola basket terbesar di Indonesia, Developmental Basketball League (DBL), pendapatan perusahaan kian bertambah.
"Penjualan sepatu DBL Ardilles di kurun waktu Januari hingga Februari 2019 mampu mengalahkan pendapatan kami selama setahun pada 2018. 10 ribu pasang sepatu mampu kita produksi setiap bulannya," katanya.
Search Marketing Manager Google Indonesia Mira Sumanti membenarkan bahwa minat masyarakat Indonesia untuk berolahraga terbilang cukup tinggi berdasarkan penghitungan mesin pencari Google.
"Di Indonesia total pencarian olahraga di mesin Google mencapai 8 persen. Ini merupakan angka yang sangat tinggi, bila dibandingkan negara dengan sektor olahraga yang lebih maju seperti Amerika Serikat dan Brasil, mereka ada di angka 12-13 persen. Indonesia masih di atas India yang tenar dengan olahraga kriket sebesar 6 persen," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2019
Tags: