KLHK-Kementerian ESDM percepat reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS
23 April 2019 16:15 WIB
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Reklamasi Hutan dan Rehabilitasi DAS 2019 di Jakarta, Selasa (23/4/2019). (ANTARA News/Virna P Setyorini)
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sepaham untuk mempercepat reklamasi hutan dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Reklamasi Hutan dan Rehabilitasi DAS 2019 di Jakarta, Selasa, mengatakan salah satu ruang lingkup yang disepakati dalam nota kesepahaman dua kementerian, yakni percepatan reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS dengan harapan terjadi sinergitas yang baik antara dua pihak dan keseluruhan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan agar mau melaksanakannya.
Dalam rakornas yang mengangkat tema "Ramah Menambang, Alam Seimbang, Rakyat Senang" tersebut, Bambang juga mengatakan dari sisi ekonomi, kegiatan pertambangan merupakan sektor penyumbang devisa yang cukup besar bagi negara.
Tetapi, katanya, dari sisi lain, kegiatan pertambangan diikuti dengan dampak cukup signifikan bagi kondisi alam, antara lain perubahan bentang alam, terjadinya lahan terbuka, peningkatan erosi dan "run-off", terganggunya ekosistem, terganggunya daerah tangkapan air.
Berdasarkan catatan KLHK, sampai dengan Maret 2019, pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IPPKH seluas 31.351, 26 hektare (37,75 persen) dari total luas lahan yang telah dibuka seluas 83.467,74 hektare, sedangkan rehabilitasi DAS baru mencapai 50.827,65 ha (18,19 persen) dari total luas rehabilitasi DAS seluas 527.984,32 ha.
Untuk pelaksanaan reboisasi lahan kompensasi baru mencapai 151,82 ha (1,39 persen) dari total luas lahan IPPKH wajib reboisasi kompensasi seluas 10.789,09 ha.
Sekjen ESDM Ego Syahrial mengatakan untuk mendorong pelaku usaha melakukan praktik tambang baik maka pemerintah membenahi izin pertambangan. Untuk periode 2015-2018, Kementerian ESDM bersama KPK telah menata Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang awalnya mencapai hampir 11.000 kini menjadi 4.335 izin usaha pertambangan berlisensi clean and clear (IUPCNC).
Ia juga mengatakan kewajiban untuk melakukan reklamasi dan pascatambang melekat pada pemegang IUP. Selanjutnya wajib menempatkan jaminan dengan tidak menghilangkan kewajiban reklamasi dan pascatambang.
Kegiatan pascatambang, menurut dia, bertujuan menyelesaikan persoalan lingkungan hidup dan sosial pada saat tambang berakhir, dengan fokus utama keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat.
Ia mengatakan kinerja reklamasi tambang mengalami peningkatan cukup baik dalam lima tahun terakhir. Sebagai ilustrasi, luas reklamasi lahan bekas tambang pada 2014 mencapai 6.596 ha dari target 6.500 ha, pada 2015 mencapai 6.732 ha dari target 6.600 ha, pada 2016 mencapai 6.876 ha dari target 6.700 ha, pada 2017 mencapai 6.808 ha dari target 6.800 ha, dan pada 2018 mencapai 6.950 ha dari target 6.900 ha.
Menurut dia, masih ada isu reklamasi yang harus diselesaikan bersama, yakni revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, khususnya substansi penyerapan jaminan reklamasi di kawasan hutan yang akan tumpang tindih dengan jaminan reklamasi di sektor perindustrian.
Selain itu, pemegang IPPKH mengalami kesulitan dalam penentuan lokasi penamaan rehabilitasi hutan, dan isu kuota IPPKH yang terbatas, sehingga mereka belum dapat kepastian usaha di kawasan hutan.
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK Ida Bagus Putera Prathama mengatakan beberapa kesulitan untuk pemegang IPPKH melakukan reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS akan diatasi bersama dengan telah adanya kesepahaman.
"Jadi prosesnya mungkin selama ini mereka ajukan penentuan area rehabilitasi tapi kita agak lambat prosesnya. Harapannya pertemuan dengan ESDM ini akan menjadi jalan keluar karena memang izin dari mereka, IPPKH lebih taat ke mereka," ujar dia.
Soal lokasi rehabilitasi DAS, menurut Putera, terkadang pemegang IPPKH mempunyai preferensi untuk lokasinya.
"Masalahnya ya sulit dapat lahan yang aksesnya bagus atau dekat kota," katanya.
Ia mengatakan saat ini ada sekitar 800 IPPKH dengan total luasan area hutan sekitar 500.000 ha.
Sekjen KLHK Bambang Hendroyono saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Reklamasi Hutan dan Rehabilitasi DAS 2019 di Jakarta, Selasa, mengatakan salah satu ruang lingkup yang disepakati dalam nota kesepahaman dua kementerian, yakni percepatan reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS dengan harapan terjadi sinergitas yang baik antara dua pihak dan keseluruhan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan agar mau melaksanakannya.
Dalam rakornas yang mengangkat tema "Ramah Menambang, Alam Seimbang, Rakyat Senang" tersebut, Bambang juga mengatakan dari sisi ekonomi, kegiatan pertambangan merupakan sektor penyumbang devisa yang cukup besar bagi negara.
Tetapi, katanya, dari sisi lain, kegiatan pertambangan diikuti dengan dampak cukup signifikan bagi kondisi alam, antara lain perubahan bentang alam, terjadinya lahan terbuka, peningkatan erosi dan "run-off", terganggunya ekosistem, terganggunya daerah tangkapan air.
Berdasarkan catatan KLHK, sampai dengan Maret 2019, pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IPPKH seluas 31.351, 26 hektare (37,75 persen) dari total luas lahan yang telah dibuka seluas 83.467,74 hektare, sedangkan rehabilitasi DAS baru mencapai 50.827,65 ha (18,19 persen) dari total luas rehabilitasi DAS seluas 527.984,32 ha.
Untuk pelaksanaan reboisasi lahan kompensasi baru mencapai 151,82 ha (1,39 persen) dari total luas lahan IPPKH wajib reboisasi kompensasi seluas 10.789,09 ha.
Sekjen ESDM Ego Syahrial mengatakan untuk mendorong pelaku usaha melakukan praktik tambang baik maka pemerintah membenahi izin pertambangan. Untuk periode 2015-2018, Kementerian ESDM bersama KPK telah menata Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang awalnya mencapai hampir 11.000 kini menjadi 4.335 izin usaha pertambangan berlisensi clean and clear (IUPCNC).
Ia juga mengatakan kewajiban untuk melakukan reklamasi dan pascatambang melekat pada pemegang IUP. Selanjutnya wajib menempatkan jaminan dengan tidak menghilangkan kewajiban reklamasi dan pascatambang.
Kegiatan pascatambang, menurut dia, bertujuan menyelesaikan persoalan lingkungan hidup dan sosial pada saat tambang berakhir, dengan fokus utama keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat.
Ia mengatakan kinerja reklamasi tambang mengalami peningkatan cukup baik dalam lima tahun terakhir. Sebagai ilustrasi, luas reklamasi lahan bekas tambang pada 2014 mencapai 6.596 ha dari target 6.500 ha, pada 2015 mencapai 6.732 ha dari target 6.600 ha, pada 2016 mencapai 6.876 ha dari target 6.700 ha, pada 2017 mencapai 6.808 ha dari target 6.800 ha, dan pada 2018 mencapai 6.950 ha dari target 6.900 ha.
Menurut dia, masih ada isu reklamasi yang harus diselesaikan bersama, yakni revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, khususnya substansi penyerapan jaminan reklamasi di kawasan hutan yang akan tumpang tindih dengan jaminan reklamasi di sektor perindustrian.
Selain itu, pemegang IPPKH mengalami kesulitan dalam penentuan lokasi penamaan rehabilitasi hutan, dan isu kuota IPPKH yang terbatas, sehingga mereka belum dapat kepastian usaha di kawasan hutan.
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK Ida Bagus Putera Prathama mengatakan beberapa kesulitan untuk pemegang IPPKH melakukan reklamasi hutan dan rehabilitasi DAS akan diatasi bersama dengan telah adanya kesepahaman.
"Jadi prosesnya mungkin selama ini mereka ajukan penentuan area rehabilitasi tapi kita agak lambat prosesnya. Harapannya pertemuan dengan ESDM ini akan menjadi jalan keluar karena memang izin dari mereka, IPPKH lebih taat ke mereka," ujar dia.
Soal lokasi rehabilitasi DAS, menurut Putera, terkadang pemegang IPPKH mempunyai preferensi untuk lokasinya.
"Masalahnya ya sulit dapat lahan yang aksesnya bagus atau dekat kota," katanya.
Ia mengatakan saat ini ada sekitar 800 IPPKH dengan total luasan area hutan sekitar 500.000 ha.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: