Singapura (ANTARA) - Harga minyak melayang di dekat tertinggi 2019 pada awal perdagangan Asia, Selasa pagi, setelah Washington secara tiba-tiba bergerak untuk mengakhiri semua keringanan sanksi-sanksi Iran pada Mei, menekan para importir untuk berhenti membeli minyak dari Teheran.

Minyak mentah berjangka Brent berada di 74,33 dolar AS per barel pada pukul 00.51 GMT (07.51 WIB), naik 0,4 persen dari penutupan terakhir mereka dan tidak jauh dari tertinggi 2019 di 74,52 dolar AS yang dicapai pada Senin (22/4/2019).

Sementara, dikutip dari Reuters, minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI), diperdagangkan di 65,79 dolar AS per barel, naik 0,4 persen dari penyelesaian transaksi sebelumnya, dan juga hanya sedikit di bawah tertinggi tahun ini di 65,92 dolar AS per barel pada Senin (22/4/2019).

Amerika Serikat pada Senin (22/4/2019) menuntut agar pembeli minyak Iran menghentikan pembelian pada 1 Mei atau menghadapi sanksi-sanksi, mengakhiri enam bulan keringanan yang memungkinkan delapan pembeli terbesar Iran, kebanyakan dari mereka di Asia, untuk terus membeli dalam volume terbatas.

Sebelum penerapan kembali sanksi-sanksi tahun lalu, Iran adalah produsen terbesar keempat di antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) hampir tiga juta barel per hari (bph), tetapi ekspor April menyusut jauh di bawah satu juta barel per hari, menurut pelacakan kapal dan data analis Refinitiv.

Bank Barclay mengatakan dalam sebuah catatan setelah pengumuman bahwa keputusan itu mengejutkan banyak pelaku pasar dan bahwa langkah itu akan "mengarah pada pengetatan pasar minyak yang signifikan".

Bank Inggris itu menambahkan bahwa target Washington untuk memangkas ekspor minyak Iran menjadi nol menimbulkan "risiko kenaikan yang material terhadap perkiraan harga rata-rata kami saat ini 70 dolar AS untuk Brent tahun ini, dibandingkan dengan rata-rata sepanjang tahun ini 65 dolar AS per barel".

Bank ANZ mengatakan dalam sebuah catatan pada Selasa bahwa "keputusan tersebut kemungkinan akan memperburuk pasokan yang sedang berlangsung dengan sanksi-sanksi Venezuela, pengurangan pasokan OPEC, dan kian intensifnya konflik di Libya".

Langkah untuk memperketat sanksi-sanksi Iran datang di tengah sanksi lain yang telah ditempatkan Washington pada ekspor minyak Venezuela dan juga ketika klub produsen OPEC telah memimpin pengurangan pasokan sejak awal tahun yang bertujuan memperketat pasar minyak global dan menopang harga minyak mentah.

Ellen Wald, mitra non-residen senior di Pusat Energi Global Dewan Atlantik, mengatakan Amerika Serikat "tampaknya mengharapkan" Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk menggantikan minyak Iran, tetapi dia menambahkan "bahwa ini belum tentu dipandang sebagai cara Arab Saudi".

Arab Saudi adalah pengekspor minyak mentah terbesar di dunia dan pemimpin de-facto OPEC. Kelompok ini dijadwalkan bertemu pada Juni untuk membahas kebijakan produksinya.

Sementara itu, Dewan Atlantik mengatakan langkah AS akan merugikan warga Iran.

"Kita akan melihat mata uang mereka jatuh lebih besar, lebih banyak pengangguran, lebih banyak inflasi," kata Barbara Slavin, direktur untuk Prakarsa Masa Depan Iran di Dewan Atlantik, menambahkan bahwa sanksi AS "tidak akan membawa Iran kembali meja perundingan (nuklir) ”.

Baca juga: Harga minyak melonjak, sentuh tertinggi 2019 akibat AS tekan kuat Iran
Baca juga: Didukung kenaikan harga minyak, saham Tokyo dibuka sedikit lebih kuat