Pemerhati sebut atasi permasalahan lingkungan perlu kolaborasi
22 April 2019 15:42 WIB
Aktivis merias wajah dengan gambar bumi saat mengikuti aksi damai peringatan Hari Bumi di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Aceh, Senin (22/4/2019). Mereka mengkampanyekan penyelamatan empat satwa yang terancam punah yakni gajah, harimau, badak dan orangutan. (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)
Jakarta (ANTARA) - Pemerhati komunikasi lingkungan dari Universitas Padjadjaran Ade Kadarisman mengatakan kolaborasi semua pihak diperlukan untuk mengatasi kompleksitas permasalahan lingkungan hidup.
"Saat ini keadaan lingkungan makin mengkhawatirkan. Dari mulai eksplorasi sumberdaya alam, pertambangan yang tidak diimbangi dengan kelestarian lingkungan sekitarnya, sampai alih fungsi kawasan agraris dan perubahan kawasan perbukitan menjadi kawasan hunian," ujar Ade di Jakarta, Senin.
Selain itu, ruang terbuka hijau dan serapan air hujan menjadi berkurang sehingga mengakibatkan banjir dan longsor di mana-mana. Tak hanya itu, lanjut dia, masyarakat juga menghadapi persoalan kebutuhan energi yang semakin terbatas, serta ketersedian air bersih.
Ia menjelaskan, agenda lingkungan hidup harus menjadi kepedulian bersama, karena dampak kerusakan lingkungan memiliki resiko jangka panjang.
Bukan saja soal rusaknya ekosistem, punahnya spesies dan kehidupan yang terganggu, tapi lebih dari itu, dalam jangka panjang akan merugikan keberlangsungan kehidupan generasi berikutnya, tambahnya.
Terkait hal tersebut, penulis buku “Komunikasi Lingkungan: Pendekatan SDGs dan CSR” itu juga mengungkapan bahwa menyelamatkan bumi memerlukan kesadaran semua pihak.
Komunikasi antar pemangku kepentingan menjadi faktor kunci. Dalam proses penyusunan kebijakan misalnya diharapkan dapat mengurangi egosektoral, dan mengedepankan aspek kerja sama dan solusi, ujarnya.
Peneliti Unpad SDGs Center ini menjelaskan, dalam SDGs dikenal dengan semangat dan pendekatan “No One Left Behind” yang menekankan bahwa semua pihak harus terlibat, bekerja sama, serta tak ada satupun yang tertinggal dalam upaya pencapaian tujuan SDGs untuk mencapai keadilan, perdamaian dan kemakmuran.
"Sebagai bagian penting dalam tujuan SDGs, persoalan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari kompleksitas persoalan pembangunan itu sendiri." katanya.
Menurut Ade, SDGs sendiri telah digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak September 2015 yang memberikan arah bagi bangsa-bangsa di dunia untuk bersama mewujudkan tercapainya 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Untuk mencapai itu, langkah-langkah dilakukan sesuai target serta indikator-indikator yang dikembangkan.
“SDGs sebagai kelanjutan dari MDGs (Millenium Development Goals) mengharapkan pada 2030, semua bangsa di dunia bisa mencapai 17 tujuan global yang dicita-citakan. Di dalamnya lingkungan menjadi faktor penting yang harus jadi kepedulian dan gerakan bersama dengan penuh komitmen dan tanggung jawab tanpa melupakan kekuatan budaya dan kearifan lokal,” pungkas Ade.
Baca juga: LIPI merayakan Hari Bumi, hadirkan 3 teknologi energi terbarukan
Baca juga: Peringati Hari Bumi, mahasiswa Jateng tanam 6.500 mangrove
"Saat ini keadaan lingkungan makin mengkhawatirkan. Dari mulai eksplorasi sumberdaya alam, pertambangan yang tidak diimbangi dengan kelestarian lingkungan sekitarnya, sampai alih fungsi kawasan agraris dan perubahan kawasan perbukitan menjadi kawasan hunian," ujar Ade di Jakarta, Senin.
Selain itu, ruang terbuka hijau dan serapan air hujan menjadi berkurang sehingga mengakibatkan banjir dan longsor di mana-mana. Tak hanya itu, lanjut dia, masyarakat juga menghadapi persoalan kebutuhan energi yang semakin terbatas, serta ketersedian air bersih.
Ia menjelaskan, agenda lingkungan hidup harus menjadi kepedulian bersama, karena dampak kerusakan lingkungan memiliki resiko jangka panjang.
Bukan saja soal rusaknya ekosistem, punahnya spesies dan kehidupan yang terganggu, tapi lebih dari itu, dalam jangka panjang akan merugikan keberlangsungan kehidupan generasi berikutnya, tambahnya.
Terkait hal tersebut, penulis buku “Komunikasi Lingkungan: Pendekatan SDGs dan CSR” itu juga mengungkapan bahwa menyelamatkan bumi memerlukan kesadaran semua pihak.
Komunikasi antar pemangku kepentingan menjadi faktor kunci. Dalam proses penyusunan kebijakan misalnya diharapkan dapat mengurangi egosektoral, dan mengedepankan aspek kerja sama dan solusi, ujarnya.
Peneliti Unpad SDGs Center ini menjelaskan, dalam SDGs dikenal dengan semangat dan pendekatan “No One Left Behind” yang menekankan bahwa semua pihak harus terlibat, bekerja sama, serta tak ada satupun yang tertinggal dalam upaya pencapaian tujuan SDGs untuk mencapai keadilan, perdamaian dan kemakmuran.
"Sebagai bagian penting dalam tujuan SDGs, persoalan lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dari kompleksitas persoalan pembangunan itu sendiri." katanya.
Menurut Ade, SDGs sendiri telah digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak September 2015 yang memberikan arah bagi bangsa-bangsa di dunia untuk bersama mewujudkan tercapainya 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Untuk mencapai itu, langkah-langkah dilakukan sesuai target serta indikator-indikator yang dikembangkan.
“SDGs sebagai kelanjutan dari MDGs (Millenium Development Goals) mengharapkan pada 2030, semua bangsa di dunia bisa mencapai 17 tujuan global yang dicita-citakan. Di dalamnya lingkungan menjadi faktor penting yang harus jadi kepedulian dan gerakan bersama dengan penuh komitmen dan tanggung jawab tanpa melupakan kekuatan budaya dan kearifan lokal,” pungkas Ade.
Baca juga: LIPI merayakan Hari Bumi, hadirkan 3 teknologi energi terbarukan
Baca juga: Peringati Hari Bumi, mahasiswa Jateng tanam 6.500 mangrove
Pewarta: Indriani
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Tags: