Stok tunggal obat ke pecahan akan pengaruhi kepatuhan ODHA
22 April 2019 13:06 WIB
Ilustrasi - Warga membagikan selebaran berisi informasi tetang penyakit HIV AIDS memperingati Hari AIDS Sedunia di depan Monumen Mandala, Makassar, Sulsel, Minggu (1/12). (ANTARA FOTO/Dewi Fajriani)
Makassar (ANTARA) - Kebijakan pemerintah dari stok tunggal obat menjadi pecahan dinilai dapat memengaruhi tingkat kepatuhan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) meminum obat.
Hal itu dikemukakan konselor ODHA yang juga Direktur Yayasan Gaya Celebes Muh Akbar Alim di Makassar, Senin.
"Berdasarkan hasil laporan dari staf komuniti ARV bahwa hampir seluruh puskesmas dan rumah sakit yang menyediakan ARV itu sudah stop stok tunggal menjadi pecahan (empat butir) sejak April 2019. Jadi obat yang tadinya satu butir menjadi empat butir, " kata Akbar.
Obat ARV untuk ODHA ini mengandung zat aktif Tenofovir, Lamvudine dan Efavirenz (TLE) yang dapat menghambat realisasi virus HIV, sehingga tak menularkan virus pada orang lain.
Dengan adanya kebijakan tersebut, lanjut konselor ini, dikhawatirkan dari stok ARV tunggul ke pecahan menjadi empat butir obat dengan durasi waktu minum obat pagi dan malam, dapat memengaruhi kepatuhan minum obat para ODHA.
Apalagi di lapangan, ungkap dia, keterbatasan tenaga konselor HIV untuk memberikan konseling pada ODHA, sehingga tidak ada jaminan dalam pemenuhan obat itu.
"Obat satu butir menjadi empat butir tentu memengaruhi psikologis ODHA yang lulus follow up (tindaklanjut), nanti dikhawatirkan dapat putus obat. Padahal tingkat lulus follow up sudah tinggi," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pihaknya yang tergabung dalam Aliansi Penganggaran HIV/AIDS ini berharap agar persoalan ini dapat menjadi fokus perhatian pemerintah. Karena masalah tersebut tidak boleh dianggap sepele untuk menekan kasus HIV/AIDS di lapangan yang setiap tahun cenderung mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Biro Napsa dan Penanggulangan HIV/AIDS Sulsel diketahui, pada 2017 terdapat 1.038 kasus HIV dan AIDS sebanyak 411. Sedangkan pada 2018 tercatat 189 kasus HIV dan 17 kasus AIDS.*
Baca juga: JIP: tokoh masyarakat berperan sosialisasi penanganan HIV/AIDS
Hal itu dikemukakan konselor ODHA yang juga Direktur Yayasan Gaya Celebes Muh Akbar Alim di Makassar, Senin.
"Berdasarkan hasil laporan dari staf komuniti ARV bahwa hampir seluruh puskesmas dan rumah sakit yang menyediakan ARV itu sudah stop stok tunggal menjadi pecahan (empat butir) sejak April 2019. Jadi obat yang tadinya satu butir menjadi empat butir, " kata Akbar.
Obat ARV untuk ODHA ini mengandung zat aktif Tenofovir, Lamvudine dan Efavirenz (TLE) yang dapat menghambat realisasi virus HIV, sehingga tak menularkan virus pada orang lain.
Dengan adanya kebijakan tersebut, lanjut konselor ini, dikhawatirkan dari stok ARV tunggul ke pecahan menjadi empat butir obat dengan durasi waktu minum obat pagi dan malam, dapat memengaruhi kepatuhan minum obat para ODHA.
Apalagi di lapangan, ungkap dia, keterbatasan tenaga konselor HIV untuk memberikan konseling pada ODHA, sehingga tidak ada jaminan dalam pemenuhan obat itu.
"Obat satu butir menjadi empat butir tentu memengaruhi psikologis ODHA yang lulus follow up (tindaklanjut), nanti dikhawatirkan dapat putus obat. Padahal tingkat lulus follow up sudah tinggi," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pihaknya yang tergabung dalam Aliansi Penganggaran HIV/AIDS ini berharap agar persoalan ini dapat menjadi fokus perhatian pemerintah. Karena masalah tersebut tidak boleh dianggap sepele untuk menekan kasus HIV/AIDS di lapangan yang setiap tahun cenderung mengalami peningkatan.
Berdasarkan data Biro Napsa dan Penanggulangan HIV/AIDS Sulsel diketahui, pada 2017 terdapat 1.038 kasus HIV dan AIDS sebanyak 411. Sedangkan pada 2018 tercatat 189 kasus HIV dan 17 kasus AIDS.*
Baca juga: JIP: tokoh masyarakat berperan sosialisasi penanganan HIV/AIDS
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: