Kota Pekanbaru (ANTARA) - Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Syaiful Wahab mengatakan dinamika politik setelah pemungutan suara di Indonesia ternyata belum juga berubah seperti pemilu sebelumnya dan juga pilkada, isunya selalu sama.

"Pertama adanya tuduhan kecurangan oleh penyelenggara, apalagi sekarang calonnya adalah petahana, dan penyelenggara yang merupakan bagian dari rezim selalu dianggap berpihak atau curang," kata Syaiful dihubungi dari Pekanbaru, Senin.

Penilaian itu disampaikannya terkait dinamika politik setelah pemungutan suara dan hasil hitung cepat Pemilu 17 April 2019.

Menurut Syaiful, isu kedua yang juga masih muncul adalah mobilisasi aparatur pemerintahan atau negara agar mendukung petahana jika karirnya ingin selamat.

Selain itu, katanya menyebutkan, hasil "quick count" lembaga survei dianggap tidak valid karena biasanya pada pemilu-pemilu legislatif atau pilkada lembaga survei sering dikontrak oleh para elite politik yang mencalonkan diri sehingga diragukan validitasnya, meskipun untuk Pilpres kali ini, mereka mengklaim bahwa mereka menggunakan dana independen.

"Dari semua isu yang muncul pasca perhitungan suara ini, saya melihat ada "tanda-tanda" untuk mendelegitimasi pemilu. Perang siber dan "show of force" masing-masing kandidat yang berlangsung jauh sebelum Pemilu hingga masa kampanye, sebenarnya sudah kental dengan upaya-upaya untuk saling melemahkan dan mendeskreditkan," katanya.

Kalau jauh sebelum Pemilu upaya itu dilakukan oleh para pendukung dan simpatisannya, katanya lagi, pada masa tahapan Pemilu upaya itu dilakukan oleh para elite politik dan kandidatnya sendiri, misalnya pada saat Debat Publik.

Petahana (incumbent), katanya lagi, selalu berada dalam posisi sulit. Apapun yg dilakukannya akan jadi sorotan, baik sekalipun yang dilakukannya akan tetap menimbulkan kritik. Maka ketika petahana menang dalam Pemilu pasti juga akan menimbulkan ketidakpuasan dengan tuduhan kecurangan atau apapun istilah lainnya.

"Tuduhan seperti ini juga terjadi di negara-negara lain yang melaksanakan Pemilu, terutama negara-negara yang memiliki rezim cenderung otoriter. Karena kemenangan petahana pilpres Indonesia tidak menang telak, karena ternyata pendukung atau perolehan suara calon lain juga relatif hampir sama, maka akan sangat mudah bagi kandidat lawannya untuk mendelegitimasi proses-proses dan hasil Pemilu," katanya.

Oleh karena itu, katanya, untuk menghindari adanya tuduhan mendelegitimasi Pemilu, para kandidat dan elit politik para pendukungnya semestinya harus bersikap sportif dan elegan dan bisa menahan diri hingga KPU mengumumkan hasilnya.

Mereka tidak perlu terprovokasi oleh hasil-hasil "quick count", atau oleh suara-suara kekecewaan para pendukung atau pemilihnya, ataupun oleh tuduhan-tuduhan adanya kecurangan. Sebab, katanya lagi, sebuah kecurangan dapat dianggap terbukti jika sudah diproses dan diputuskan melalui peradilan.

Ia mengimbau kedua pasangan calon presiden harus membuat statemen kepada publik bahwa kita harus menunggu hasil akhir perhitungan suara (real count) oleh KPU yang sudah bekerja keras bahkan sudah diobok-obok jauh sebelum Pemilu agar KPU bekerja sungguh dan jujur, adil, transparan dan berintegritas.