Jakarta (ANTARA) - “Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.

Lebih dari 118 tahun silam, tepatnya pada 4 September 1901, Kartini menitikkan air mata ketika menulis penggalan kalimat itu di atas meja tulisnya yang terasa makin rapuh dari hari ke hari.

Perjuangannya untuk berperang melawan sistem dan adat yang tak menguntungkan perempuan seperti menemui titik terendahnya.

Sebagaimana saudara perempuannya yang lain, Kartini pun tak kuasa menolak adat lama yang seakan mengebiri asanya untuk mengejar impian, ketika ia pun akan dinikahkan dengan laki-laki bangsawan pilihan orang tuanya. Sekaligus dipoligami.

Hatinya menolak meronta dan menyangkal keadaan bahwa raganya sebentar lagi menyerah, kalah dalam sebuah perang besar yang semula ia yakini bisa ia menangkan.

Belum juga genap sebulan sebelumnya, ia menuliskan sebuah surat kepada sahabat penanya Ny Van Kool di Belanda, tentang betapa luar biasanya jika kaum perempuan Jawa mendapatkan kesempatan untuk mengeyam pendidikan.

Baca juga: Sri Mulyani: Perjuangan dan pemikiran Kartini adalah sumber inspirasi
Baca juga: Susi Pudjiastuti: Ingat jasa dan semangat Kartini

“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya,” demikian penggalan surat Kartini yang tak pernah usang.

Namun toh Kartini tak memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mengimbangi besarnya belenggu yang menjerat perempuan pada zamannya ketika itu.

Meskipun politik etis sedang diterapkan di Tanah Jawa sekalipun, tetapi nasib perempuan tak beranjak membaik.

Peserta Kartini Ride berfoto bersama di Taman Cikapayang, Jalan Ir Djuanda, Kota Bandung, Minggu (21/4/2019). (Bagus Ahmad Rizaldi)
Pekerja milenial perempuan PT Askrindo (Persero) mengambil sampah di aliran sungai saat operasi bersih Sungai Ciliwung di Jakarta, Minggu (21/4/2019). Millenials Askrindo bersama Yayasan Lintas Sungai Abadi (Yalisa) membersihkan Sungai Ciliwung untuk merayakan HUT ke-48 Askrindo dan Hari Kartini. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/hp.


Hanya selang dua tahun, tepat ketika usianya menginjak 24 tahun, Kartini dipaksa menyerah dan dinikahkan dengan Bupati Rembang bernama Adipati Djojoadiningrat.

Pada masa itu, usia 24 tahun dianggap perawan tua jika tidak segera menikah. Dan atas nama kecintaan dan baktinya pada sang ayah, Kartini menerima pernikahan tersebut. Kartini menyerah pada adat lama sekaligus tenggelam dalam angannya untuk berjuang menentang poligami.

Pada titik ini Kartini, merasa dirinya kalah dalam berperang.

Hati lapang
Kartini senantiasa hidup dalam kontroversi bahkan hingga kini, lebih dari 100 tahun setelah kematiannya.

Ia kerap kali dianggap tak cukup pantas dijadikan acuan bagi sebuah perjuangan terlebih emansipasi perempuan. Kartini yang bahkan berjuang untuk dirinya saja tak sanggup tapi kemudian menjadi referensi yang namanya begitu lekat dengan sebuah kata emansipasi.

Novelis Suryatini N Ganie dalam novelnya yang berjudul Fatamorgana di Segitiga Emas sempat mempertanyakan mengapa tentang Kartini lagi, poligami saja tidak bisa ia tuntaskan, apalagi emansipasi.

Sejatinya pandangan serupa sempat diutarakan mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid yang berpendapat masih banyak tokoh perempuan lain yang perjuangannya setara Kartini tidak terpublikasikan.

Baca juga: Kunci sukses perempuan berpolitik ala Sinta Nuriyah
Baca juga: Sinta Nuriyah prihatin perempuan jadi alat korupsi

Bahkan Sinta sempat mengusulkan untuk mengubah Hari Kartini menjadi Hari Perempuan. Perjuangan Kartini memang penuh kontroversi sejak dahulu hingga kini.

Emansipasi yang diperjuangkan perempuan Jawa itu banyak dianggap hanya berpengaruh terhadap aturan adat Jawa yang memberatkan perasaan kaum wanita pada masa itu.

Efeknya terbatas pada memberikan kebebasan bagi perempuan Jawa pada masa itu untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan menghilangkan perlakuan semena-mena pria Jawa pada masa itu agar tidak lagi merendahkan kaum wanita.

Di luar itu semua, Kartini tetaplah layak dijadikan teladan tentang betapa lapangnya sebuah hati untuk menerima sesuatu yang dianggapnya sebagai kekalahan.

Suatu hal yang begitu sulit dan begitu mahal untuk dilakukan bahkan bagi manusia modern sekalipun.

Kartini bisa dikatakan memang kalah berperang melawan poligami dan adat lama yang tak menguntungkan perempuan di zamannya.

Namun hatinya yang lapang membuatnya berkesempatan untuk bisa melakukan hal lain yang tak kalah mendatangkan manfaat besar bagi perempuan ketika itu.

Baca juga: Perbedaan pandangan soal poligami harus dihargai, sebut Menag
Baca juga: Potret lain poligami dalam "Surga Yang Tak Dirindukan"

Darma baktinya pada sang ayah, membuatnya tak kuasa menolak untuk dipoligami oleh pria yang baginya begitu asing. Ia bahkan pernah menuliskan betapa pedihnya akibat poligami yang ia rasakan dan lihat dengan matanya sendiri.

“Saya telah melihat neraka dari jarak dekat malahan saya berada di dalamnya. Saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya sendiri karena saya adalah anaknya."

Ia pun pernah menyuarakan protes kepada sahabat penanya di Belanda Ny. Abendanon tentang poligami yang begitu amat tak disukainya.

“Bukankah hal ihwal itu merupakan perkosaan terhadap kodrat alam, apabila perempuan harus tinggal secara damai dengan madunya? Sesungguhnyalah, anak bangsa itu sendiri, kaum perempuan harus memperdengarkan suaranya.”

Kartini pun menikah, memupus semua impiannya dan mengemasnya dalam sebuah surat pendek bahwa segalanya telah berakhir (mimpi-mimpinya untuk terus bersekolah) di pelaminan.

Setelah menikah ia diboyong ke Rembang dan menjadi seorang raden ayu di kabupaten. Kartini tidak memberontak lagi, tak menjeritkan kegelisahannya terhadap nasib perempuan Jawa. Surat-surat yang ditulisnya dari Rembang bukan lagi surat-surat protes tentang kedudukan perempuan, dan bukan perihal poligami.

Nampaknya ia berusaha berdamai dengan keadaannya yang baru, tanpa protes, tanpa pemberontakan. Tampaknya hatinya telah ditata dengan lapang.

Ia telah memilih untuk bersikap karena baginya sudah tidak ada hak lagi untuk mengeluhkan keputusan yang telah diambilnya meskipun dengan sangat berat dan terpaksa.

Baca juga: Daurmala: Kesetaraan gender harus diwujudkan bukan hanya simbolik
Baca juga: Empat peneliti perempuan LIPI beri inspirasi "Kartini" Indonesia

Keikhlasan rupanya telah memenuhi jiwa raganya, sehingga ia pun memiliki mental juara untuk kemudian berjuang dengan jalan lain.

Surat-surat Kartini pada periode Rembang adalah surat-surat yang menyatakan "kebahagiaan"-nya di tengah suami, ketiga istri selir, dan tujuh orang anak-anaknya.

Kisah Kartini pada akhirnya bukan semata pemberontakan seorang putri Bupati Jepara yang tak berdaya, melainkan riwayat seorang intelektual yang mewakili sebuah perubahan zaman. Di sanalah letak seluruh makna kehidupan Kartini. Pergulatan batinnya mencerminkan pergumulan sebuah bangsa. Ia memang kalah, tetapi bukan tanpa perlawanan.

Menurut Th. Sumartana dalam Tuhan & Agama dalam Pergulatan Batin Kartini (2013), kekalahan Kartini adalah satu episode yang harus diakui dengan jujur dan terbuka. Kekalahan itu juga merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia.

Kartini yang kalah perang memang dapat dimaknai sebagai siklus dalam kehidupan manusia yang ada kalanya menang dan ada masanya kalah.

Maka meskipun ada sebagian orang yang ragu pada kecerdasannya, namun kekalahan Kartini layak menjadi sumber inspirasi tentang betapa berlapang hati adalah jalan terbaik bagi semua.

Baca juga: Saatnya tokoh perempuan bicara
Baca juga: Presiden Jokowi sampaikan ucapan selamat Hari Kartini
Baca juga: Ketua Komnas Perempuan bicara soal pasal 488 RUU KUHP