Mendikbud: Zonasi PPDB bisa petakan persoalan pendidikan
18 April 2019 10:52 WIB
Ilustrasi, guru memeriksa berkas murid baru saat daftar ulang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMPN 1 Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (10/7/2018). ANTARA FOTO/Heru Salim/aa
Malang (ANTARA) - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Dr Muhadjir Effendi mengemukakan sistem zonasi dalam penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) bisa menjadi acuan sekaligus memetakan persoalan pendidikan yang ada di daerah.
"Dengan sistem zonasi dalam PPDB ini akhirnya kita akan tahu persoalan pendidikan, misalnya terkait sebaran dan kualitas guru, sarana dan prasarana (gedung sekolah) maupun kurikulumnya," ujar Muhadjir yang dihubungi di Malang, Jawa Timur, Kamis.
Oleh karena itu, lanjut mantan Rektor Universitas Muhammadiah Malang (UMM) itu, meminta zonasi PPDB 2019 ditaati oleh semua sekolah negeri. Sebab, zonasi PPDB bisa mengetahui persoalan pendidikan yang dihadapi di daerah.
Muhadjir mencontohkan di satu kecamatan ternyata kurang SMP-nya, sehingga banyak siswa di wilayah itu terpaksa harus sekolah di daerah lain.
"Oleh karena itu, kalau saya ke daerah-daerah biasanya juga sambil melihat kondisi di lapangan, misalkan ada sekolah yang ternyata gurunya PNS semua, tetapi ada sekolah lain di kecamatan itu, yang PNS hanya kepala sekolahnya dan guru-gurunya honorer. Padahal, harusnya berimbang," tutur Muhadjir.
Berdasarkan pengalaman turun di lapangan tersebut, Mendikbud juga menemukan sekolah di Babat, Lamongan hanya memiliki siswa kurang dari 40 orang. Kalu kondisinya seperti itu, perlu ada pengelompokan ulang sekolah, relokasi atau membangun sekolah baru karena ada titik hampa (blank spot) sekolah.
Oleh karena itu, lanjut Muhadjir, agar daerah taat terhadap aturan PPDB, ia mengeluarkan Permendikbud No 51/2018 yang dikeluarkan Januari 2019 tentang PPDB 2019. Dengan demikian, ada waktu lima bulan untuk asistensi PPDB di provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia.
Bahkan, lanjutnya, di Kemendikbud sekarang ada semacam unit yang memantau/asistensi mengenai zonasi PPDB di daerah dengan harapan ditaati karena manfaatnya banyak. "Jika tidak ditaati, semua instrumen dari Kemenkeu bisa dipakai Kemendikbud terkait anggaran sebagai pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment)," tuturnya.
Jika dilanggar, kata Muhadjir, pasti ada sanksi yang diberikan pada daerah bersangkutan, mulai teguran, peringatan keras hingga penanganan khusus dan berkaitan dengan anggaran.
"Kami juga punya data mengenai kepala daerah yang peduli maupun yang tidak peduli pada pendidikan. Sehingga, bisa diketahui mana daerah yang perlu diintervensi Kemendikbud," ucapnya.
Menyinggung masih digunakannya nilai ujian nasional (NUN) sebagai tolak ukur atau salah satu persyaratan masuk sekolah negeri harusnya sudah tidak dipakai dengan alasan, karena seluruh siswa yang termasuk wajib belajar 12 tahun bisa menikmati haknya.*
Baca juga: Nilai ujian tetap diperhatikan dalam PPDB di Yogyakarta
Baca juga: Aturan baru dalam penerimaan murid tahun 2019
"Dengan sistem zonasi dalam PPDB ini akhirnya kita akan tahu persoalan pendidikan, misalnya terkait sebaran dan kualitas guru, sarana dan prasarana (gedung sekolah) maupun kurikulumnya," ujar Muhadjir yang dihubungi di Malang, Jawa Timur, Kamis.
Oleh karena itu, lanjut mantan Rektor Universitas Muhammadiah Malang (UMM) itu, meminta zonasi PPDB 2019 ditaati oleh semua sekolah negeri. Sebab, zonasi PPDB bisa mengetahui persoalan pendidikan yang dihadapi di daerah.
Muhadjir mencontohkan di satu kecamatan ternyata kurang SMP-nya, sehingga banyak siswa di wilayah itu terpaksa harus sekolah di daerah lain.
"Oleh karena itu, kalau saya ke daerah-daerah biasanya juga sambil melihat kondisi di lapangan, misalkan ada sekolah yang ternyata gurunya PNS semua, tetapi ada sekolah lain di kecamatan itu, yang PNS hanya kepala sekolahnya dan guru-gurunya honorer. Padahal, harusnya berimbang," tutur Muhadjir.
Berdasarkan pengalaman turun di lapangan tersebut, Mendikbud juga menemukan sekolah di Babat, Lamongan hanya memiliki siswa kurang dari 40 orang. Kalu kondisinya seperti itu, perlu ada pengelompokan ulang sekolah, relokasi atau membangun sekolah baru karena ada titik hampa (blank spot) sekolah.
Oleh karena itu, lanjut Muhadjir, agar daerah taat terhadap aturan PPDB, ia mengeluarkan Permendikbud No 51/2018 yang dikeluarkan Januari 2019 tentang PPDB 2019. Dengan demikian, ada waktu lima bulan untuk asistensi PPDB di provinsi, kota dan kabupaten di Indonesia.
Bahkan, lanjutnya, di Kemendikbud sekarang ada semacam unit yang memantau/asistensi mengenai zonasi PPDB di daerah dengan harapan ditaati karena manfaatnya banyak. "Jika tidak ditaati, semua instrumen dari Kemenkeu bisa dipakai Kemendikbud terkait anggaran sebagai pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment)," tuturnya.
Jika dilanggar, kata Muhadjir, pasti ada sanksi yang diberikan pada daerah bersangkutan, mulai teguran, peringatan keras hingga penanganan khusus dan berkaitan dengan anggaran.
"Kami juga punya data mengenai kepala daerah yang peduli maupun yang tidak peduli pada pendidikan. Sehingga, bisa diketahui mana daerah yang perlu diintervensi Kemendikbud," ucapnya.
Menyinggung masih digunakannya nilai ujian nasional (NUN) sebagai tolak ukur atau salah satu persyaratan masuk sekolah negeri harusnya sudah tidak dipakai dengan alasan, karena seluruh siswa yang termasuk wajib belajar 12 tahun bisa menikmati haknya.*
Baca juga: Nilai ujian tetap diperhatikan dalam PPDB di Yogyakarta
Baca juga: Aturan baru dalam penerimaan murid tahun 2019
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: