Jakarta (ANTARA) - Hasil penelitian Founding Fathers House (FFH) menemukan bahwa 57,75 persen responden atau pemilih akan menerima politik uang atau barang jika ditawari oleh tim sukses atau konsultan atau calon peserta Pemilu 2019.

"Alasan yang menerima politik uang itu, 74 persen menyatakan rejeki tidak boleh ditolak, 15,8 persen sebagai penambah uang dapur dan kebutuhan sehari-hari. 4,89 persen sebagai ongkos pengganti lantaran pada hari 'coblosan' tidak bekerja," kata peneliti senior FFH Dian Permata di Jakarta, Selasa.

Selain itu, baik pihak pemberi maupun penerima lebih suka pemberian dalam bentuk uang daripada barang karena praktis.

Dian mengaku tak habis pikir, dari 57,75 persen yang mau terlibat politik uang, 51,62 persen mengaku tahu ada larangan soal menerima politik uang.

Bahkan, lanjut Dian, jika dibedah lebih mendalam lagi, dari 57,75 persen itu pemilih umur 17-19 tahun sebanyak 66,67 berpotensi menerima politik uang, usia 20-29 tahun 63,49 persen menerima, usia 30-39 tahun 58, 67 persen menerima.

"Jika dilihat dari angka-angka tersebut, milenial terancam terkena politik uang. Ini pekerjaan berat kita semua. Mereka adalah calon tumbuh kembangnya demokrasi," ujar alumnus S2 University Sains Malaysia (USM).

Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz menyatakan potensi politik uang bakal jor-joran di hari akhir. Dia mencurigai lantaran adanya ketimpangan Laporan Perimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) partai politik di Pemilu 2019 dan Pemilu 2014.

"Ada gap sekitar Rp1,7 triliunan. LSPDK 2014 sebesar Rp2,1 triliun, tahun 2019 sebesar Rp427 miliar," tuturnya.

August menengarai besarnya gap itu bakal memunculkan transaksi jual beli suara di antara peserta pemilu dengan pemilih dan peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu.

"OTT penyelenggara pemilu di Garut menjadi pembuka kotak pandora adanya transaksi peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu," ujarnya.

Kondisi ini makin diperberat dengan makin kompetitifnya di antara peserta pemilu. Ini dibuktikan makin marak tertangkapnya sejumlah peserta pemilu yang mencoba peruntungan di pemilu melalui politik uang melalui serangan fajar dan serangan dhuha.

"Karena itu, KPK dan Saber Politik Uang Polri harus ikut masuk untuk mengawasi tahapan krusial itu menjelang masa akhir pemilu," tegas August.