Tanggamus. Lampung (ANTARA) - Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) adalah sebuah taman nasional yang ditujukan untuk melindungi hutan hujan tropis Pulau Sumatera beserta kekayaan alam hayati yang dimilikinya.

UNESCO menjadikan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai Warisan Dunia. Bukit Barisan Selatan dinyatakan sebagai Cagar Alam Suaka Margasatwa pada tahun 1935 dan menjadi Taman Nasional pada tahun 1982.

Pada awalnya ukuran taman adalah seluas 356.800 hektare . Tetapi luas taman saat ini yang dihitung dengan menggunakan GIS kurang-lebih 324.000 hektare.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan itu terletak di ujung wilayah barat daya Sumatera. Sekitar 70 persen dari taman (249.552 hektare) termasuk dalam administrasi wilayah Kabupaten Lampung Barat dan wilayah Kabupaten Tanggamus, di mana keduanya adalah bagian dari Provinsi Lampung.

Bagian lainnya dari taman mencakup 74.822 hektare (23 persen dari luas taman keseluruhan) berada di wilayah Provinsi Bengkulu.

Kawasan hutan TNBBS mulai banyak berkurang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan permukiman dan pembukaan jalan pada masa lalu.

Pada acara media field trip yang diselenggarakan WWF Indonesia, selama tiga hari mulai Sabtu, 13 April, awak media diajak mengunjungi hutan lindung TNBBS di Kabupaten Tanggamus, tepatnya di Register 39 Blok 3 untuk berdialog dengan penggarap/kelompok pengelola hutan (KPH) di kawasan hutan lindung tersebut yang ikut program perhutanan sosial.

Media field trip diselenggarakan dalam rangka melihat langsung penanganan konflik gajah dengan manusia di hutan lindung TNBBS, dan upaya pelestarian hutan.

Sejarahnya dulu, hutan lindung ini merupakan hutan taman nasional yang menjadi habitat hidup gajah sumatera, sehingga hutan lindung tersebut kini kerap dimasuki gajah untuk mencari makan.

Karena telanjur dibuka warga untuk dijadikan lahan perkebunan, pemerintah berusaha mengembalikan fungsi asli hutan tersebut dengan kembali menanami tanaman dan warga diajak bermitra melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) tapi belum seluruhnya. Blok tiga ini adalah salah satu yang diizinkan pemerintah digarap melalui skema HKm.

Melalui skema HKm, selain dianjurkan menanam tanaman yang pemerintah tentukan, warga diperbolehkan menanam tanaman yang bernilai ekonomi, seperti kopi, kakao, jengkol, durian, pisang, lada, atau pala.

Melalui skema tersebut, kawasan TNBBS yang sudah telanjur dirambah, tetap dapat berfungsi sebagai hutan penyangga untuk kehidupan.

Ketua Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Hutan Lindung TNBBS di Register 39 Blok 3 Jarsa menjelaskan, luasan lahan yang digarap kelompoknya kurang lebih 300- an hektare melalui Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) : B.475/34/II/2014, Nomor PAK : SK.885/Menut-II/2013.

Menurut Jarsa, penggarap tidak selamanya tinggal menetap di situ. Mereka pulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya atau pemilu.

Penggarap yang sekarang ini adalah penerus penggarap sebelumnya.

"Lahan di sini dibuka bukan setahun dua tahun, ini sudah dibuka sejak tahun 1079-an, kalau kami ini adalah penggarap generasi penerus," ujarnya.

Hasil perkebunan dalam kawasan ini cukup melimpah, pada pertama kali dibuka, satu hektare lahan kopi bisa menghasilkan satu ton lebih biji kopi namun untuk saat ini sudah turun banyak.

Anggota kelompok KPH, Wagimin menyebutkan harga biji kopi di tempatnya Rp18 ribu per kilogram, biji coklat Rp25 ribu dan lada Rp30 ribu per kilogram.

Wagimin mengatakan, harga tersebut untuk sekarang ini tidak sesuai yang diharapkan apalagi ditambah produktivitas buah tanaman juga yang lagi merosot.

Karena dahulunya hutan lindung sebagai bekas habitat hidup gajah, areal garapan warga di sini menjadi tempat yang sering dimasuki gajah TNBBS yang mencari makan.

Di sini warga berkonflik langsung dengan gajah.

Warga menyadari gajah merupakan satwa yang dilindungi, sejauh ini dalam penanganan konflik sebatas mengusir gajah supaya kembali dalam kawasan hutan taman nasional.

Lewat pembekalan dan pendampingan oleh pihak TNBBS, LSM / NGO lingkungan seperti WWF, YABI, WCS warga bisa melakukan penghalauan ke dalam kawasan hutan taman nasional.

Namun, keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia, jarak yang jauh mengembalikan gajah ke dalam hutan, medannya yang tidak datar, gajah yang masuk berulang kali membuat warga lama-lama jenuh menghadapinya karena sepertinya konflik tidak berkesudahan.

Abidin, anggota KPH mengungkapkan bisa setiap malam gajah masuk ke ladang.

"Keluarnya gajah biasanya malam atau pagi, bisa jam tiga bisa jam lima, dan itu hampir setiap malam," kata Abidin.

Menurut Abidin, setiap kali gajah masuk, gajah-gajah tersebut bisa menghabiskan tanaman pangan seperti tanaman pisang.


Minimalkan konflik

Menyudahi konflik gajah dan manusia mustahil selesai total. Untuk saat ini, yang bisa dilakukan adalah berusaha terus mengurangi dampak kerugian materil dan korban jiwa dari kedua belah pihak akibat konflik, sambil menyusun rencana aksi terpadu baru dan penguatan koordinasi oleh semua pihak yang terkait agar hutan lindung tetap lestari dan satwa di dalamnya terjaga.

Menurut staf WWF Indonesia, Fembry Ariyanto, lembaganya mendukung program terpadu yang terbaik dalam penanganan konflik gajah dan manusia yang terjadi di TNBBS dan mendukung upaya pelestarian hutan.

"Karena kita tidak selamanya menggiring gajah ke dalam hutan, perlu ada solusi-solusi lainnya," katanya.

Kepala Resort Ulu Belu TNBBS, Kirno berpandangan model HKm adalah solusi menghijaukan kembali sebagian wilayah TNBBS yang telanjur digarap warga secara ilegal.

Namun model HKm yang diterapkan tidak serampangan, ada aturan yang wajib dipatuhi dan ada sanksi bagi yang melanggar.

"Seperti larangan membuka lahan baru," ujarnya.

Melalui skema perhutanan sosial, hutan lindung yang telanjur dibuka tetap bermanfaat secara ekonomi dan fungsi hutannya tetap ada.

Kini, tinggal kesadaran warga yang menggarap lahan, jangan sampai melanggar aturannya karena akan berdampak fatal bagi beragam sisi baik kehidupan warganya maupun kelestarian hutan dan makhluk yang ada di dalamnya. (*)