Tak diatur KPU, waspadai hoaks exit poll luar negeri
15 April 2019 20:40 WIB
Tampilan situs cekfakta.com yang membantu warganet untuk menangkal informasi atau berita palsu yang beredar di Internet jelang Pemilu 2019. (Tangkapan layar cekfakta.com) (Tangkapan layar cekfakta.com) (Tangkapan layar cekfakta.com)
Jakarta (ANTARA) - Ketiadaan aturan KPU terkait hitung cepat di luar negeri bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk memengaruhi pemungutan suara di dalam negeri, kata pengamat politik dari Universitas Indonesia Ari Junaedi.
"Sebenarnya wajar saja KPU tidak membuat aturan hitung cepat luar negeri. Sebab, dengan DPT yang sedikit di setiap negara, lembaga survei mana yang mau capek-capek bikin exit poll? Misalnya di Melbourne yang cuma 22 TPS, tapi toh informasi yang katanya hasil exit poll di Melbourne itu beredar luas di dalam negeri," kata Ari di Jakarta, Senin.
Ari menaruh perhatian khusus pada informasi yang disebut-sebut hasil exit poll itu dengan hanya mencantumkan nama dan email penyebarnya.
Menurut Ari, hitung cepat seharusnya dilakukan oleh lembaga resmi yang sudah dikenal rekam jejaknya di mata publik. Sebab, untuk hitung cepat di dalam negeri, KPU juga mengharuskan lembaga penyelenggara resmi dan sudah terdaftar.
"Kalau dilakukan perorangan atau kelompok orang yang tidak jelas, kemudian disebar seolah-olah itu benar, lalu siapa yang mempertanggungjawabkan hasilnya secara akademik kepada publik," kata Ari.
Pengajar di sejumlah kampus ini mengatakan, mereka yang punya niat baik melakukan survei saja bisa salah kalau tidak paham metode survei dengan baik. Apalagi kalau tidak punya niat baik, seperti memengaruhi pemungutan suara dalam negeri.
"Oleh karenanya, kita harus waspada potensi hoaks dari informasi exit poll luar negeri macam begini," kata Ari.
Kecurigaan Ari ini juga muncul dari tidak adanya informasi lengkap terkait survei yang dilakukan. Misalnya, ambang batas kesalahan (margin of error) dan tingkat kepercayaan.
"Katakan hasil exit poll meleset sekian persen dari hasil resmi KPU, toh kita juga tidak bisa menyalahkan karena margin of error tidak dicantumkan. Makanya saya bilang ini aneh," ujarnya.
"Sebenarnya wajar saja KPU tidak membuat aturan hitung cepat luar negeri. Sebab, dengan DPT yang sedikit di setiap negara, lembaga survei mana yang mau capek-capek bikin exit poll? Misalnya di Melbourne yang cuma 22 TPS, tapi toh informasi yang katanya hasil exit poll di Melbourne itu beredar luas di dalam negeri," kata Ari di Jakarta, Senin.
Ari menaruh perhatian khusus pada informasi yang disebut-sebut hasil exit poll itu dengan hanya mencantumkan nama dan email penyebarnya.
Menurut Ari, hitung cepat seharusnya dilakukan oleh lembaga resmi yang sudah dikenal rekam jejaknya di mata publik. Sebab, untuk hitung cepat di dalam negeri, KPU juga mengharuskan lembaga penyelenggara resmi dan sudah terdaftar.
"Kalau dilakukan perorangan atau kelompok orang yang tidak jelas, kemudian disebar seolah-olah itu benar, lalu siapa yang mempertanggungjawabkan hasilnya secara akademik kepada publik," kata Ari.
Pengajar di sejumlah kampus ini mengatakan, mereka yang punya niat baik melakukan survei saja bisa salah kalau tidak paham metode survei dengan baik. Apalagi kalau tidak punya niat baik, seperti memengaruhi pemungutan suara dalam negeri.
"Oleh karenanya, kita harus waspada potensi hoaks dari informasi exit poll luar negeri macam begini," kata Ari.
Kecurigaan Ari ini juga muncul dari tidak adanya informasi lengkap terkait survei yang dilakukan. Misalnya, ambang batas kesalahan (margin of error) dan tingkat kepercayaan.
"Katakan hasil exit poll meleset sekian persen dari hasil resmi KPU, toh kita juga tidak bisa menyalahkan karena margin of error tidak dicantumkan. Makanya saya bilang ini aneh," ujarnya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019
Tags: