Pengamat: kasus Montara jalan di tempat
15 April 2019 17:04 WIB
Ketua Tim Advokasi Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni (kacamata hitam) bersama Senator Rachel Siewert (kanan) mengunjungi masyarakat nelayan yang terdampak pencemaran minyak Montara di Kelurahan Oesapa Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. (ANTARA Foto/Laurensius Molan) (ANTARA Foto)
Kupang (ANTARA) - Pengamat ekonomi Dr. James Adam menilai kasus Montara terkait ganti rugi atas tumpahnya minyak yang terjadi sejak Agustus 2009 hingga saat ini jalan di tempat.
"Kasus ini sebetulnya sudah diurus oleh pemerintah pusat, tetapi nampaknya masih jalan di tempat. Tak ada perkembangan sama sekali," kata konsultan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk program pemberdayaan ekonomi itu kepada Antara di Kupang, Senin (15/4)
Hal ini disampaikan berkaitan perkembangan dari ganti rugi oleh pemerintah Australia kepada Indonesia khususnya nelayan-nelayan di NTT dalam kasus tumpahnya minyak Montara di wilayah perairan Indonesia di Laut Timor, ketika kilang minyak milik PTTEP asal Thailand itu meledak pada 21 Agustus 2009.
Kejadian tersebut mengakibatkan banyak pesisir pantai tercemar oleh minyak yang tumpah. Akibatnya penghasilan dari penangkapan ikan para nelayan pun turun drastis.
Tak hanya itu, hasil budi daya rumput laut para petani nelayan mulai dari Pulau Timor, Rote, Alor, Sabu, Sumba, dan sebagian di Pulau Flores rusak, tidak bisa dipanen lagi.
James menilai bahwa gugatan "class action" oleh salah seorang nelayan dari kabupaten Rote Ndao saat menghadiri sidang di pengadilan Sydney beberapa waktu lalu seolah-olah tak ada jalan keluarnya sama sekali.
"Padahal dalam sidang gugatan di Australia beberapa waktu lalu sudah ada putusannya bahwa perusahan Thailand itu harus membayar ganti rugi kepada nelayan di Rote Ndao," ujar dia.
Dari sisi ekonomi, katanya, memang merugikan para nelayan sebab bukti-bukti hasil penelitian baik oleh lembaga luar negeri maupun tim peneliti bentukan Yayasan peduli Timor Barat terbukti merugikan nelayan Rote Ndao.
Terkait besaran ganti rugi ia mengatakan memang belum bisa dihitung karena sejak keputusan pengadilan di Sydney Australia beberapa waktu lalu belum diikuti dengan tindakan lanjutan untuk eksekusi atas keputusan tersebut.
"Menurut saya baik Deplu harus membuka lagi kasus itu untuk dituntaskan sesuai keputusan pengadilan yang sudah ada. Ini tugas pemerintah agar masalahnya bisa segera selesai," ujar dia.
Sementara Ketua Yayasan Peduli Timor Barat yang Ferdi Tanoni yang menginvestasi kasus itu bersama timnya mengatakan bahwa di akhir April ini pihaknya akan berangkat ke Australia untuk kembali membicarakan hal tersebut.
"Kami berharap agar para pejabat di sana tidak menghindar lagi. Mengingat beberapa kali pertemuan selalu saja ada alasan untuk menghindar dari para pejabat di negara itu," ujar dia.
"Kasus ini sebetulnya sudah diurus oleh pemerintah pusat, tetapi nampaknya masih jalan di tempat. Tak ada perkembangan sama sekali," kata konsultan International Fund for Agricultural Development (IFAD) untuk program pemberdayaan ekonomi itu kepada Antara di Kupang, Senin (15/4)
Hal ini disampaikan berkaitan perkembangan dari ganti rugi oleh pemerintah Australia kepada Indonesia khususnya nelayan-nelayan di NTT dalam kasus tumpahnya minyak Montara di wilayah perairan Indonesia di Laut Timor, ketika kilang minyak milik PTTEP asal Thailand itu meledak pada 21 Agustus 2009.
Kejadian tersebut mengakibatkan banyak pesisir pantai tercemar oleh minyak yang tumpah. Akibatnya penghasilan dari penangkapan ikan para nelayan pun turun drastis.
Tak hanya itu, hasil budi daya rumput laut para petani nelayan mulai dari Pulau Timor, Rote, Alor, Sabu, Sumba, dan sebagian di Pulau Flores rusak, tidak bisa dipanen lagi.
James menilai bahwa gugatan "class action" oleh salah seorang nelayan dari kabupaten Rote Ndao saat menghadiri sidang di pengadilan Sydney beberapa waktu lalu seolah-olah tak ada jalan keluarnya sama sekali.
"Padahal dalam sidang gugatan di Australia beberapa waktu lalu sudah ada putusannya bahwa perusahan Thailand itu harus membayar ganti rugi kepada nelayan di Rote Ndao," ujar dia.
Dari sisi ekonomi, katanya, memang merugikan para nelayan sebab bukti-bukti hasil penelitian baik oleh lembaga luar negeri maupun tim peneliti bentukan Yayasan peduli Timor Barat terbukti merugikan nelayan Rote Ndao.
Terkait besaran ganti rugi ia mengatakan memang belum bisa dihitung karena sejak keputusan pengadilan di Sydney Australia beberapa waktu lalu belum diikuti dengan tindakan lanjutan untuk eksekusi atas keputusan tersebut.
"Menurut saya baik Deplu harus membuka lagi kasus itu untuk dituntaskan sesuai keputusan pengadilan yang sudah ada. Ini tugas pemerintah agar masalahnya bisa segera selesai," ujar dia.
Sementara Ketua Yayasan Peduli Timor Barat yang Ferdi Tanoni yang menginvestasi kasus itu bersama timnya mengatakan bahwa di akhir April ini pihaknya akan berangkat ke Australia untuk kembali membicarakan hal tersebut.
"Kami berharap agar para pejabat di sana tidak menghindar lagi. Mengingat beberapa kali pertemuan selalu saja ada alasan untuk menghindar dari para pejabat di negara itu," ujar dia.
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: