Jakarta (ANTARA) -
Ekonom senior Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Anggito Abimanyu mengingatkan setiap kebijakan ekonomi yang bersifat sangat populis bisa saja diterapkan pemerintah, namun perlu dibarengi dengan pengelolaan fiskal yang hati-hati dan terukur agar tidak menimbulkan guncangan bagi perekonomian.

Pendapat tersebut dikemukakan Anggito dalam diskusi di sela peluncuran bukunya yang berjudul "Menyimak Turbulensi Ekonomi : Pengalaman Empiris Indonesia" di Jakarta, Senin.

Anggito menyoroti kenaikan belanja sosial yang dikucurkan pemerintah melalui APBN dalam beberapa tahun terakhir.

Misalnya, kata Anggito, kebijakan pemerintah yang tetap mempertahankan harga bahan bakar minyak maupun listrik di tengah kenaikan harga minyak dunia.

Anggito mengatakan dampak dari kebijakan ini harus diantisipasi agar tidak merusak tata kelola fiskal. "Kebijakan fiskal itu ada prinsipnya jangan sampai kehilangan. Misalnya, subsidi energi melalui Pertamina, PLN," kata Anggito.

Mantan Kepala Ekonom PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk itu juga mengingatkan jika pemerintah memberikan penugasan kepada BUMN untuk program sosial seperti halnya subsidi, pemerintah juga harus mengawasi kesehatan permodalan BUMN yang ditugaskan tersebut.

"Perlu ada penyesuaian, dan mengantisipasi beban dan risiko yang ditanggung BUMN itu," ujar dia.

Anggito menjelaskan, saat Sri Mulyani Indrawati pertama kali menjadi Menteri Keuangan Indonesia pada 2005, reformasi dalam APBN telah dijalankan dengan baik.

Saat ini, reformasi di instrumen fiskal maupun kelembagaannya perlu terus dilakukan agar masalah fundamental seperti rendahnya rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) dapat diselesaikan.

"Mesti ada reformasi dalam APBN untuk menjawab kenapa 'tax ratio' belum naik, dan juga melihat kenapa keuangan syariah belum berkembang," ujar dia.