New York, AS (ANTARA) - Seorang perempuan yang menjadi lambang protes di Sudan yang diambil gambarnya saat sedang berteriak di atap mobil selama protes terhadap presiden Omar Al-Bashir pada Kamis (11/4) mengatakan telah menerima ancaman mati sejak gambarnya beredar luas.

Dengan berpakaian putih, Alaa Salah dapat terlihat berada di antara kerumunan orang Ibu Kota Sudan, Khartoum, tempat demonstran berkumpul guna menuntut penyerahan kekuasaan dari militer ke sipil.

Penggulingan Al-Bashir (75) terjadi setelah berbulan-bulan protes terhadap kekuasaannya.

"Saya ingin naik ke kap mobil dan berbicara kepada orang-orang," kata Alaa, mahasiswi rekayasa dan arsitektur di Sudan International University, di dalam satu cuitan Twitter.

"Kami memerlukan dukungan internasional, buat rakyat agar menyadari apa yang sedang terjadi dan memahami tuntutan kami," kata Alaa, sebagaimana dilaporkan Thomson Reuters Foundtion --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat malam.

Cuitan tersebut memuji peran perempuan Sudan, banyak di antara mereka telah turun ke jalan untuk melancarkan protes.

Data dari Bank Dunia memperlihatkan bahwa kurang separuh dari seluruh jumlah perempuan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di Sudan, tempat harapan hidup perempuan ialah sekitar 66 tahun.

"Orang tak bisa memiliki revolusi tanpa perempuan. Orang tak bisa memiliki demokrasi tanpa perempuan," demikian antara lain isi cuitan itu. "Kami percaya kami dapat, jadi kami melakukannya."

Alaa, yang menyatakan ia "sangat bangga karena bisa ikut dalam revolusi ini", mengatakan hidupnya telah diancam sejak gambar dan rekaman videonya tersebar luas di media sosial.

"Saya takkan tunduk. Suara saya tak bisa ditindas," kata Alaa di dalam cuitannya. Ia menambahkan ia akan menganggap Al-Bashir bertanggung-jawab "jika sesuatu terjadi pada saya".

Thomson Reuters Foundation tak bisa menghubungi Alaa untuk meminta komentar atau mengabsahkan bahwa ia sendiri yang menulis cuitan tersebut dan bukan orang lain.

Al-Bashir telah dituntut oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, dan menghadapi surat penangkapan dengan tuduhan pemusnahan suku di Wilayah Darfur, Sudan, selama aksi perlawanan yang meletus pada 2003 dan mengakibatkan kematian sebanyak 300.000 orang. Ia membantah tuduhan tersebut.

Sumber: Thomson Reuters Foundation
Baca juga: Pasukan keamanan Sudan gunakan gas air mata bubarkan demonstran perempuan
Baca juga: Polisi Sudan gunakan gas air mata untuk bubarkan demonstran