"Selama ini kita bergantung pada ekonomi fosil, oleh karena itu harus berani beralih ke ekonomi hijau atau terbarukan," kata dia pada kegiatan Menilik Debat Capres-Cawapres 2019 ke-5 di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan ekonomi hijau tersebut bertujuan agar ke depan pemerintah tidak lagi menyandarkan perekonomian pada industri ekstraktif.
Oleh karena itu, presiden dan wakil presiden yang terpilih pada 17 April 2019 diminta untuk menuju industri terbarukan sehingga tidak selalu bergantung pada industri tambang dan sejenisnya."Kita harus berani bebas dari energi fosil ke depannya," ujar dia.
PWYP berpendapat selama pemerintah terus bergantung kepada industri ekstraktif seperti tambang, batu bara dan sebagainya, selama itu pula perekonomian tetap rentan.
Selain itu, jika pemerintah tidak berani beralih ke ekonomi hijau, dampak ekonomi nasional yaitu membengkaknya utang, beban APBN naik serta memperlebar defisit negara."Apalagi saat ini harga minyak dunia 59 dolar AS per barel dan memperlebar defisit negara," ujarnya.
Koordinator Desk Politik, Walhi Eksekutif Nasional, Khalisah Khalid berpendapat bahwa industri ekstraktif memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan perekonomian nasioanl.
Sebagai contoh kasus Lapindo di Jawa Timur yang merusak ruang hidup rakyat, sektor pertanian hancur akibat praktik industri ekstraktif.
Contoh lain yaitu kasus kebakaran hutan dan lahan yang merusak perekonomian masyarakat namun tidak dihitung oleh konteks ekonomi makro.
"Pada 2015 kita mengalami kebakaran hutan dan lahan dengan kerugian ekonomi mencapai Rp200 triliun," kata dia.
Oleh karena itu, para pemimpin nasional diminta untuk berkaca pada pengalaman sebelumnya sebelum memutuskan kebijakan nasional terutama terkait ekonomi.