Ambon (ANTARA) - Harto Wiyono (71) sedang berada di ladang saat anggota Satuan Polisi Pamong Praja menjemput dan memberi tahu dia bahwa ada tamu yang menunggu di rumahnya.

Pria jangkung itu tergopoh-gopoh turun begitu sepeda motor anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang dia tumpangi berhenti di jalan depan pekarangan rumahnya. Ia bergegas masuk ke rumah sebentar, kemudian keluar lagi dengan senyum sumringah untuk menyambut tamunya.

"Maaf saya baru dari ladang dan tidak menduga akan kedatangan tamu," kata Harto saat menerima kunjungan tim Antara di rumahnya di Jalan Sedap Malam, Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru.

Harto pada masa lalu termasuk tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru dan ditempatkan di area Unit IV, yang kini Desa Savana Jaya.

"Saat dibuang ke sini, kerja sehari-hari adalah membabat hutan dan alang-alang dengan tangan kosong, mencetak sawah dan membuat jalan serta bendungan dengan peralatan seadanya," katanya mengenang masa-masa awalnya di Pulau Buru.

Bersama para tahanan politik yang sekitar akhir tahun 1960-an sampai awal 1970 dibuang ke Buru karena dituduh punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia, dia membangun rumah dan tempat ibadah, serta membuka dan mengolah lahan pertanian.

Bekas tahanan politik yang tersisa di Savana Jaya sekarang tinggal 17 orang, termasuk Harto. Mereka memilih menetap dan menghabiskan sisa hidup di Pulau Buru setelah semua tahanan politik dinyatakan bebas pada 1979.

Harto memilih tidak kembali ke daerah asalnya di Solo karena sudah tidak lagi mengetahui keberadaan keluarga dan sanak saudaranya di sana.

"Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman pasti ada. Tetapi saya tidak tahu keberadaan orang tua, kedua adik saya dan keluarga mereka," ujar Harto.

Saat ditangkap Harto masih muda. Ia merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Kedua adiknya, Supomo dan Suwandi, masih remaja saat Harto ditangkap dengan tuduhan terlibat kegiatan partai terlarang.

Kedua orang tua Harto juga ditangkap, namun dia tidak tahu mereka diasingkan ke wilayah mana. Keluarganya tercerai-berai.

Meski demikian Harto mengaku tidak sampai merasakan kesedihan mendalam selama menjalani masa pengasingan di Pulau Buru.

"Dulu kalau ada yang menangis pasti diketawai oleh kawan yang lain. Makanya kami selalu gembira dan senang menjalani hidup semasa itu," kata Harto, mengenang masa lalu dalam wawancara dengan Antara, yang disaksikan dan direkam oleh aparat keamanan dan perangkat desa.


Racun dan Madu

Harto menuturkan bahwa pada awal masa pembuangan para tahanan politik sempat dijauhi warga setempat karena dianggap sebagai orang jahat.

Selama dalam pengasingan, para tahanan politik ibarat menelan racun yang menggerogoti tubuh setiap waktu. Mereka harus menghadapi kerasnya alam untuk bertahan hidup, membuka hutan dan mengolahnya menjadi lahan pertanian produktif.

Setelah semua tahanan politik di Pulau Buru dinyatakan bebas, sebagian memilih tinggal, tidak kembali lagi ke daerah asal. Status mereka berubah dari tahanan politik menjadi transmigran swakarsa.

Sebagai transmigran, Harto dan bekas tahanan politik yang lain berhak mendapatkan satu unit rumah dan pekarangan seluas 1/5 hektare, kebun 3/4 hektare, sawah satu hektare, hewan ternak dan sedikit uang sebagai bekal memulai hidup baru sebagai orang bebas.

Mereka yang bertahan berperan dalam membangun Buru menjadi daerah pertanian yang maju.

Bagi Harto dan 16 rekannya, pulau pengasingan itu kemudian menjadi tempat yang damai untuk hidup, berkeluarga dan mencari makan.

Ibarat madu, Pulau Buru kini didatangi banyak warga yang ingin membangun kehidupan yang lebih baik.

"Di sini asal mau kerja pasti berhasil, daerahnya masih luas dan subur. Hanya butuh tenaga dan kerja keras saja," kata Harto.


Tenang Menyambut Pemilu

Gedung kesenian di Desa Savana Jaya Kecamatan Waiapo, Pulau Buru, Senin (25/3). bangunan yang menjadi gedung kesenian bai para tapol itu, merupakan satu-satunya bangunan sejarah yang tersisa. (ANTARA/Jimmy Ayal)


Harto kini hidup tenang di Savana Jaya bersama istrinya Sumarmi dan keluarga besarnya. Dia punya tiga anak dari pernikahan pertama, dua anak dari pernikahannya dengan Sumarmi, dan lima anak angkat.

Dari anak-anak maupun anak angkatnya, ia kini punya 18 cucu.

"Kalau semua cucu berkumpul rumah ini menjadi sangat ramai," katanya, lalu tertawa.

Dia menghabiskan sebagian harinya untuk menggarap ladang seluas setengah hektare yang ditanami aneka buah, sayur dan palawija, serta kebun tanaman obat dan tanaman hias di halaman rumah.

Sebagaimana warga Savana Jaya lainnya, Harto juga merasakan kemeriahan menjelang pesta demokrasi dan bersiap-siap menggunakan hak pilih.

Dia berharap kemeriahan pemilihan umum tidak dinodai dengan aksi saling menjelekkan antar-kontestan, juga penyebaran informasi dan berita bohong serta ujaran kebencian.

"Syukurlah warga di Savana Jaya tidak terpengaruh dengan berbagai tayangan berita yang berisi ujaran kebencian, hoaks atau saling menjelekkan antarsesama pendukung," ujarnya.

Ia mengatakan warga Desa Savana Jaya umumnya hanya menganggap tayangan negatif seperti angin lalu.

"Di sini tidak ada yang saling menjelekkan atau menyebar berita bohong. Hidup rukun, aman dan damai sangat dijunjung tinggi warga Savana Jaya," katanya.


Pemimpin Idaman

Saat berbincang mengenai Pemilu 2019, ketika warga akan memilih presiden/wakil presiden, serta anggota DPD, DPR, DPRD I dan DPRD II dalam satu waktu, Harto juga mengungkapkan karakter pemimpin idamannya.

"Bangsa ini butuh pemimpin masa depan yang merakyat. Artinya mengutamakan kesejahteraan masyarakat di atas segala-galanya," katanya.

Pemimpin bangsa lima tahun mendatang, menurut Harto, haruslah Pancasilais, mampu menjalankan butir-butir penghayatan dan pengamalan dasar negara.

"Pemimpin Indonesia ke depan harus mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.

Keadilan sosial yang dia maksud adalah pemerataan pembangunan di berbagai sektor yang manfaatnya menjangkau warga seluruh pelosok Tanah Air hingga lapisan masyarakat paling bawah.

"Jangan sampai yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin malah tambah miskin," demikian Harto Wiyono.