Debat Capres
INDEF: Indonesia masih memerlukan barang impor
11 April 2019 19:08 WIB
Peneliti Institute for Developement of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho memberikan penjelasan dalam acara Pemanasan Debat Kelima bertema Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (11/04/2019). (ANTARA/Katriana)
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Developement of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho mengatakan Indonesia masih memerlukan barang impor guna memenuhi permintaan dalam negeri.
"Kalau ada yang mengatakan tidak akan ada impor, menurut saya itu mustahil," kata dia usai mengisi acara Pemanasan Debat Kelima bertema Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis.
Dia mengatakan bahwa permintaan barang konsumsi Indonesia tumbuh satu persen dalam tiga tahun terakhir menjadi sembilan persen, dibandingkan dengan 7-8 persen pada tiga tahun sebelumnya.
Sementara itu, ketergantungan industri terhadap impor juga masih tinggi. Impor bahan baku masih menyumbang 70 persen dari keseluruhan impor, hal tersebut menunjukkan bahwa hulu industri di Indonesia kurang cukup baik.
Karena itu, menurut dia, pemerintahan mendatang masih perlu meningkatkan impor sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri seiring pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi.
Namun demikian, untuk mengurangi tingkat impor, dia menyarankan agar pemerintahan mendatang dapat mendorong peningkatan produk substitusi dari barang yang diimpor. Selain itu pemerintah juga perlu menghasilkan produk yang memiliki daya saing lebih tinggi daripada produk yang diimpor.
Pemerintah diharapkan bisa menekan impor barang konsumsi karena penyebab naiknya impor sejauh ini berasal dari barang konsumsi.
Pemerintah juga bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku industri sehingga tingkat impor dari sektor tersebut dapat diturunkan.
Dia mengatakan neraca perdagangan non-migas Indonesia pada 2018 tercatat surplus 3,96 miliar dolar AS, terendah sejak 2012 yang sebesar 3,92 miliar dolar AS. Jika tidak ada penanganan serius dan perencanaan industri ke depan, neraca perdagangan non-migas terancam defisit pada satu hingga dua tahun ke depan.
Baca juga: Pengamat: Impor sah dilakukan selama tidak mampu dipenuhi dalam negeri
"Kalau ada yang mengatakan tidak akan ada impor, menurut saya itu mustahil," kata dia usai mengisi acara Pemanasan Debat Kelima bertema Tantangan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis.
Dia mengatakan bahwa permintaan barang konsumsi Indonesia tumbuh satu persen dalam tiga tahun terakhir menjadi sembilan persen, dibandingkan dengan 7-8 persen pada tiga tahun sebelumnya.
Sementara itu, ketergantungan industri terhadap impor juga masih tinggi. Impor bahan baku masih menyumbang 70 persen dari keseluruhan impor, hal tersebut menunjukkan bahwa hulu industri di Indonesia kurang cukup baik.
Karena itu, menurut dia, pemerintahan mendatang masih perlu meningkatkan impor sehingga mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri seiring pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi.
Namun demikian, untuk mengurangi tingkat impor, dia menyarankan agar pemerintahan mendatang dapat mendorong peningkatan produk substitusi dari barang yang diimpor. Selain itu pemerintah juga perlu menghasilkan produk yang memiliki daya saing lebih tinggi daripada produk yang diimpor.
Pemerintah diharapkan bisa menekan impor barang konsumsi karena penyebab naiknya impor sejauh ini berasal dari barang konsumsi.
Pemerintah juga bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku industri sehingga tingkat impor dari sektor tersebut dapat diturunkan.
Dia mengatakan neraca perdagangan non-migas Indonesia pada 2018 tercatat surplus 3,96 miliar dolar AS, terendah sejak 2012 yang sebesar 3,92 miliar dolar AS. Jika tidak ada penanganan serius dan perencanaan industri ke depan, neraca perdagangan non-migas terancam defisit pada satu hingga dua tahun ke depan.
Baca juga: Pengamat: Impor sah dilakukan selama tidak mampu dipenuhi dalam negeri
Pewarta: Ahmad Wijaya dan Katriana
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019
Tags: